Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Contoh Peninggalan Sejarah Provinsi Aceh

Contoh Peninggalan Sejarah Provinsi Aceh

Aceh (/ˈɑːtʃeɪ/; [ʔaˈtɕɛh]) adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1959), kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroë Aceh Darussalam (2001–2009), dan terakhir Aceh (2009–sekarang). Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.


Berikut ini beberapa Peninggalan Sejarah yang masih ada di Provinsi Aceh


Benteng Indra Patra di Kecamatan Peukan Bada [sumber]

Benteng Indra Patra
Sebagaimana daerah lain di kepulauan Nusantara, Aceh juga pernah mengalami masa berkembangnya agama Hindu dan Budha yang datang dari daratan benua Asia. Pada masa itu di Aceh telah diwarnai dengan adanya beberapa kerajaan kecil yang berdasarkan agama tersebut misalnya Indrapuri, Indra Patra dan Indra Purwa semuanya di Aceh Besar.

Indrapatra terletak di kecamatan Mesjid Raya, Jalan Krueng Raya, sekitar 19 km dari pusat kota Banda Aceh menuju pelabuhan Krueng Raya. Di situ terdapat sebuah benteng yang biasa disebut sebagai Benteng Indrapatra. Menurut catatan sejarah, benteng ini dibangun pada abad ke-7 Masehi semasa pemerintahan Kerajaan Lamuri.

Benteng ini sendiri berada pada posisi yang cukup strategies karena berhadapan langsung dengan selat Malaka sehingga berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan penjajah Portugis.

Ketika Islam kemudian masuk ke Aceh, benteng ini masih menjadi tempat pertahanan dari serangan Portugis. Konon, Laksamana Malahayati pernah menggunakan benteng Indrapatra untuk melawan Portugis.

Bisa dibilang, benteng Indrapatra merupakan saksi bisu perjalanan sejarah dari masa ke masa; dari masa kejayaan Hindu hingga berjayanya kerajaan Islam di Aceh. Dan benteng ini masih berdiri kokoh hingga hari ini, meskipun pada beberapa bagian kondisinya terlihat memprihatinkan.


Taman Putroe Phang

Gunongan Putroë Phang
Gunongan Putroë Phang
Taman Putroe Phang (Taman Putri Pahang) adalah taman yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) untuk permaisurinya Putroe Phang yang berasal dari Kerajaan Pahang. Taman ini dibangun karena sultan sangat mencintai Putri Pahang dan agar sang permaisuri tidak kesepian bila di tinggal sultan menjalankan pemerintahan.

Pembangunan taman dikisahkan merupakan permintaan dari Putroe Phang, putri raja yang dibawa ke Aceh oleh Sultan Iskandar Muda setelah kerajaan Pahang ditaklukan.

Di dalam taman ini terdapat Pinto Khop yaitu gerbang kecil berbentuk kubah yang merupakan pintu yang menghubungkan taman dengan istana. Pinto Khop ini merupakan tempat beristirahat Putri Phang, setelah lelah berenang, letaknya tidak jauh dari Gunongan, di sanalah dayang-dayang membasuh rambut sang permaisuri. Di sana juga terdapat kolam untuk sang permaisuri keramas dan mandi bunga. [sumber]

Taman Sari Gunongan ini terbuka untuk umum, yang dibuka dari jam 7.00-18.00 WIB. Di Pinto Khop, yang berada tidak jauh dari Gunongan, terdapat taman bermain anak-anak sehingga tempat ini ramai dikunjungi terutama pada sore hari atau hari-hari libur. Di Taman Sari ini terdapat pula kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang mengelola bangunan, situs bersejarah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra.

Gunongan dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1636. [sumber]


Kerkoff Peucut [sumber]

Kerkoff Peucut
Kerkoff Peucut
Kerkoff Peucut adalah kuburan prajurit Belanda yang tewas dalam Perang Aceh yang sekarang menjadi objek wisata menarik, khususnya bagi wisatawan mancanegara (terutama wisatawan asal Belanda).

Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan Belanda yang memerangi Aceh. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban di kedua belah pihak.

Bukti sejarah ini dapat ditemukan di pekuburan Belanda Kerkhoff ini. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda, dan termasuk di antaranya serdadu Jawa, Batak, Ambon, Madura dan beberapa serdadu suku lainnya yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Hindia Belanda. yang kuburannya masih dirawat dengan baik. Hingga saat ini Pemerintah Kerajaan Belanda sangat haru dan menghormati warga Banda Aceh yang merawat dengan rapi kuburan tersebut. Mereka tidak habis pikir bahwa bangsa yang dijajah mau merawat makam para penjajahnya.

Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terletak di luar negeri Balanda yang terluas di dunia. Dalam sejarah Belanda, Perang Aceh merupakan perang paling pahit yang melebihi pahitnya pengalaman mereka pada saat Perang Napoleon.

Sebaliknya tidak terhitung banyaknya rakyat Aceh yang tewas dalam mempertahankan setiap jengkal tanah airnya yang tidak diketahui di mana kuburnya.

Tokoh militer Belanda yang dimakamkan di Kerkoff Peucut: Johan Harmen Rudolf Köhler, Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel, W.B.J.A. Scheepens.


Lonceng Cakra Donya [Wikipedia] 

Lonceng Cakra Donya
Cakra Donya adalah lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina 1409 M, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra berarti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, cakrawala atau matahari. Sedangkan Donya berarti dunia. Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5). Sedangkan aksara Arab tidak dapat dibaca lagi.

Lonceng ini sangat terkenal di daerah Aceh. Sejarah mencatat bahwa lonceng cakradonya merupakan pemberian dari Laksamana Cheng Ho, seorang pemimpin armada laut Tiongkok yang diutus oleh Kaisar Cina kepada Kesultanan Samudera Pasai pada tahun 1405. Pemberian lonceng ini dalam rangka mengikat hubungan persahabatan dan kerjasama antara dua kerajaan di negara yang berbeda.

Pada sekitar tahun 1524 M Kesultanan Pasai ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh Darussalam dan lonceng tersebut akhirnya diangkut ke Banda Aceh. Nama Cakradonya adalah nama armada perang Sultan Iskandar Muda, yang mana cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng cakradonya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada bagian atas lonceng ini terdapat tulisan aksara Tionghoa dan Arab. Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo", namun tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah dimakan usia. Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini diletakkan di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan. Namun kini Lonceng Cakradonya telah dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam sebuah kubah di halaman museum tersebut sejak tahun 1915. Hingga kini Lonceng raksasa ini menjadi simbol atau icon khusus Kota Aceh.


Makam Sultan Iskandar Muda

Makam Sultan Iskandar Muda
Makam Sultan Iskandar Muda
Makam Sultan Iskandar Muda adlah sebuah makam dari tokoh penting dalam sejarah kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda. Beliau merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636.

Kerajaan Aceh pernah mengalami masa kejayaan, kala Sultan memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam di masa abad ke 17 yaitu pada tahun 1607-1636. Pada masa pemerintahan Beliau, kerajaan Islam Aceh menduduki peringkat kelima kerajaan Islam terbesar di dunia.

Alamat Makam Sultan Iskandar Muda terletak di Peuniti, Baiturrahman, Kota Banda Aceh 23116, Provinsi Aceh.


Mesjid Raya Baiturrahman [sumber]

Mesjid Raya Baiturrahman
Mesjid Raya Baiturrahman
Alamat: Masjid Raya, Kp. Baru, Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh
Tinggi: 35 m
Provinsi: Aceh
Letak: Banda Aceh, Aceh, Indonesia
Kubah: 7
Menara: 5

Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah masjid Kesultanan Aceh yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam pada tahun 1022 H/1612 M. Bangunan indah dan megah yang mirip dengan Taj Mahal di India ini terletak tepat di jantung Kota Banda Aceh dan menjadi titik pusat dari segala kegiatan di Aceh Darussalam.

Sewaktu Kerajaan Belanda menyerang Kesultanan Aceh pada agresi tentara Belanda kedua pada Bulan Shafar 1290 Hijriah/10 April 1873 Masehi, Masjid Raya Baiturrahman dibakar. Kemudian, pada tahun 1877 Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman untuk menarik perhatian serta meredam kemarahan Bangsa Aceh. Pada saat itu Kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat yang merupakan Sultan Aceh yang terakhir.

Sebagai tempat bersejarah yang memiliki nilai seni tinggi, Masjid Raya Baiturrahman menjadi objek wisata religi yang mampu membuat setiap wisatawan yang datang berdecak kagum akan sejarah dan keindahan arsitekturnya, di mana Masjid Raya Baiturrahman termasuk salah satu Masjid terindah di Indonesia yang memiliki arsitektur yang memukau, ukiran yang menarik, halaman yang luas dengan kolam pancuran air bergaya Kesultanan Turki Utsmani dan akan sangat terasa sejuk apabila berada di dalam Masjid ini.

Saat bencana tsunami meluluh lantakan Tanah Rencong Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 lalu, Masjid Raya Baiturrahman masih tetap berdiri dengan megahnya, ombak tsunami yang mulai membasahi Bumi Aceh sungguh tak mampu menghancurkan rumah Allah ini. Pada saat itu Masjid Raya Baiturrahman menjadi tempat bagi rakyat Aceh berlindung juga sebagai tempat evakuasi jenazah para korban tsunami yang bergelimpangan.

Setelah melewati berbagai peristiwa-peristiwa bersejarah, sampai saat ini Masjid Raya Baiturrahman masih tetap berdiri kukuh sebagai simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme Suku Aceh.


Monumen Kerajaan Islam Peureulak

Monumen Kerajaan Islam Peureulak  adalah peninggalan Kerajaan Islam Peureulak, terletak Desa Paya Meuligau, kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur. Di kawasan ini dahulu  tempat berdirinya Kerajaan Islam Peureulak yang pertama di Asia Tenggara pada abad ke-9 Masehi berada, Monumen ini dibangun sebagai simbol tempat Kerajaan Islam Peureulak yang pertama di Asia Tenggara yang didirikan pada tahun 840-864 M dengan Raja Pertama Sultan Alaidin Sayed Maulana Abdul Aziz Syah. Di lokasi ini juga terdapat makam Beliau dan Isterinya.


Pesawat Seulawah Agam

Pesawat Seulawah
Pesawat Seulawah
Dakota RI-001 Seulawah adalah pesawat angkut yang merupakan pesawat ke-2 milik Republik Indonesia. Pesawat jenis Dakota dengan nomor sayap RI-001 yang diberi nama Seulawah ini dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh. Pesawat Dakota RI-001 Seulawah ini adalah cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways. Pesawat ini sangat besar jasanya dalam perjuangan awal pembentukan negara Indonesia.

Pesawat Dakota DC-3 Seulawah ini memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 meter, ditenagai dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg serta mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam.

Pesawat Seulawah Aceh ini sekarang menjadi monumen di Blang Padang Banda Aceh untuk menjadi saksi pengorbanan masyarakat Aceh untuk Indonesia.


Rumoh Aceh

Rumoh Aceh
Rumoh Aceh
Rumah adat Aceh (bahasa Aceh: Rumoh Aceh) adalah rumah adat dari suku Aceh. Rumah ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur). Atap rumah berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka keluarga.

Rumoh Aceh adalah rumah adat Aceh yang difungsikan sekarang sebagai museum yang menyimpan ribuan peninggalan sejarah Aceh mulai dari peninggalan sejarah pra modern hingga peninggalan sejarah masa penjajahan selain itu di rumoh Aceh ini juga disimpan berbagai macam kebudayaan Aceh yang berupa kerajinan tangan dan budaya Aceh lainnya.

Rumoh Aceh telah menjadi topik pembahasan di kalangan para arsitek dan juga tim rekontruksi pembangunan pasca Tsunami 26 Desember 2004 silam. Pasca gempa dan stunami di Aceh pernah dipaparkan tentang rumah tahan gempa. Dan mereka mengatakan bahwa struktur bangunan rumah tahan gempa adalah rumah adat Aceh (rumoh Aceh). Kearifan lokal dari nenek moyang kita sudah merancang bangunan yang peduli pada kondisi alam sekitarnya dengan membuat rumah yang tahan gempa.

Berbagai sumber
Contoh Peninggalan Sejarah Provinsi Sumatera Utara

Contoh Peninggalan Sejarah Provinsi Sumatera Utara

Sumatera Utara (SUMUT) adalah sebuah provinsi yang terletak di Pulau Sumatera, Indonesia dan beribukota di Medan. Berikut ini beberapa Peninggalan Sejarah Provinsi Sumatera Utara (SUMUT).


Benteng Jepang Batubara

Benteng Jepang Batubara
Benteng Jepang Batubara
Benteng Jepang Batubara, lokasinya terletak di Desa Perupuk Kecamatan Lima Puluh. Meski hanya memiliki luas 4,8 x 2,6 meter, bangunan tua yang dimakan oleh zaman ini adalah pertahanan pertama bangsa Jepang ketika melakukan expansi ke wilayah Sumatera Utara  Hal tersebut tentu menambah nilai sejarah dari keberadaan penjajah ke Sumatera Utara. Masyarakat di sekitar Pantai Parupuk lebih mengenal objek wisata ini dengan nama Lubang Jepang, keberadaanya yang terletak di tepi pantai Parupuk tentu anda sekaligus dapat menikmati panorama bahari kab Batubara yang berhadapan langsung dengan Selat Melaka ini.


Benteng Putri Hijau

Benteng Puri Hijau
Benteng Puri Hijau
Benteng Putri Hijau terletak di Dusun XI, Kecamatan Deli Tua. Kalangan arkeolog menyebutkan, Benteng Putri Hijau dibangun dari tanah mengikuti topografi yang berdekatan dengan sungai dan memanfaatkan kontur tanah dengan kearifan lokal. Di benteng ini banyak di antara pengunjung yang berekreasi untuk mandi sambil menikmmati segarnya air di bekas lokasi pemandian putri raja dari Kerajaan Aru di abad XVI dan XVII itu.


Biaro Bahal

Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi Portibi
Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi Portibi
Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi Portibi adalah kompleks candi Buddha aliran Vajrayana yang terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yaitu sekitar 3 jam perjalanan dari Padangsidempuan atau berjarak sekitar 400 km dari Kota Medan.

Candi ini terbuat dari bahan bata merah dan diduga berasal dari sekitar abad ke-11 dan dikaitkan dengan Kerajaan Pannai, salah satu pelabuhan di pesisir Selat Malaka yang ditaklukan dan menjadi bagian dari mandala Sriwijaya. Memiliki Tiga bangunan kuno yaitu Biaro Bahal I, II dan III. Saling berhubungan dan terdiri dalam satu garis yang lurus.

Biaro Bahal I yang terbesar. Kakinya berhiasan papan-papan sekelilingnya yang berukiran tokoh yaksa yang berkepala hewan, yang sedang menari-nari. Rupa-rupanya para penari itu memakai topeng hewani seperti pada upacara di Tibet. Di antara semua papan berhiasan itu ada ukiran singa yang duduk Di Bahal II pernah ditemukan sebuah Arca Heruka yaitu Arca Demonis yang mewujudkan tokoh pantheon Agama Buddha aliran Mahayanan, sekte bajrayana atau tantrayana. Heruka berdiri di atas jenazah dalam sikap menari; pada tangan kanannya ada tongkat. Bahal III berukiran hiasan daun.

Candi ini diberi nama berdasarkan nama desa tempat bangunan ini berdiri. Selain itu nama Portibi dalam bahasa Batak berarti 'dunia' atau 'bumi' istilah serapan yang berasal dari bahasa sansekerta: Pertiwi (dewi Bumi).


Candi Portibi adalah peninggalan dari Kerajaan Hindu Panai yang memerintah sekitar tahun 1039.


Istana Maimun atau Istana Deli

Istana Maimun atau Istana Deli
Istana Maimun atau Istana Deli
Istana Maimun adalah istana Kesultanan Deli yang merupakan salah satu ikon kota Medan, Sumatera Utara, terletak di Jalan Brigadir Jenderal Katamso, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun.

Didesain oleh arsitek Italia dan dibangun oleh Sultan Deli, Sultan Mahmud Al Rasyid. Pembangunan istana ini dimulai dari 26 Agustus 1888 dan selesai pada 18 Mei 1891. Istana Maimun memiliki luas sebesar 2.772 m2 dan 30 ruangan. Istana Maimun terdiri dari 2 lantai dan memiliki 3 bagian yaitu bangunan induk, bangunan sayap kiri dan bangunan sayap kanan. Bangunan istana ini menghadap ke utara dan pada sisi depan terdapat bangunan Masjid Al-Mashun atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Raya Medan.

Istana Maimun menjadi tujuan wisata bukan hanya karena usianya yang tua, namun juga desain interiornya yang unik, memadukan unsur-unsur warisan kebudayaan Melayu, dengan gaya Islam, Spanyol, India dan Italia. Namun sayang, tempat wisata ini tidak bebas dari kawasan Pedagang kaki lima.



Makam Batu Raja-Raja Batak

Makam Raja Batak
Makam Raja Batak
Makam Batu Raja-Raja berupa makam dengan arsitektur yang unik berupa peti yang dipahat ataupun terlihat seperti sebuah tugu yang cukup besar.

Terletak di pulau Samosir, pulau yang terdapat di tengah perairan Danau Toba ini merupakan pusatnya kebudayaan Batak sejak zaman Siraja Batak, yang merupakan nenek moyang dari etnis Batak hingga saat ini. Bahkan makam-makam tersebut mencerminkan ciri khas budaya Batak.

Diantara makam-makam yang terdapat di Pulau Samosir, ada sebuah makam yang cukup populer karena merupakan makam dari seorang tokoh masyarakat Batak yang pernah berkuasa di sekitar Pulau Samosir, tepatnya di daerah Tomok. Makam tersebut adalah Makam Raja Sidabutar, yang kini telah dijadikan objek wisata sejarah di Tano Batak oleh DinasPariwisata.

Menurut catatan sejarah, Raja Sidabutar adalah orang pertama yang bermukim di Tomok dari Gunung Pusuk Buhit, yang dikenal oleh masyarakat sebagai daerah asalnya nenek moyang etnis Batak.

Berbagai sumber
Contoh Peninggalan Sejarah Provinsi Sumatera Barat

Contoh Peninggalan Sejarah Provinsi Sumatera Barat

Sumatera Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Sumatera dengan Padang sebagai ibu kotanya. Sesuai dengan namanya, wilayah provinsi ini menempati sepanjang pesisir barat Sumatera bagian tengah dan sejumlah pulau di lepas pantainya seperti Kepulauan Mentawai. Dari utara ke selatan, provinsi dengan wilayah seluas 42.297,30 km² ini berbatasan dengan empat provinsi, yakni Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Bengkulu.

Sumatera Barat adalah rumah bagi etnis Minangkabau, walaupun wilayah adat Minangkabau sendiri lebih luas dari wilayah administratif Provinsi Sumatera Barat saat ini. Provinsi ini berpenduduk sebanyak 4.846.909 jiwa dengan mayoritas beragama Islam. Provinsi ini terdiri dari 12 kabupaten dan 7 kota dengan pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di seluruh kabupaten (kecuali kabupaten Kepulauan Mentawai) dinamakan sebagai nagari.Menhir batu besar atau megalit terletak di Kab.50 kota. Berikut ini Daftar beberapa situs peninggalan sejarah yang ada di Propinsi Sumatera Barat (Sumbar):
  1. Balai saruang terletak di negri pariangan padang panjang
  2. Batu batikam Kab Tanah datar
  3. Benteng ford de Cook
  4. Lubang jepang  di Bukittinggi
  5. Istana Pagaruyung terletak di kab Tanah Datar
  6. Makam Syeh Burhanuddin kab Padang Pariaman
  7. Menhir batu besar atau megalit terletak di Kab.50 kota
  8. Prasasti batu basurek di Tanah Datar
  9. Tugu PDRI di Kab 50 Kota

1. Balai saruang

Balai Saruang
Balai Saruang
Balai Saruang adalah sebuah tempat bersidang yang didirikan di Pariangan. Di Balai Saruang inilah segala sesuatu dimusyawarahkan. Kemudian didirikan juga Balai Nan Panjang, Balai Pasujian, dan Balai Kaciak. Balai Saruang hanya terdiri dari satu ruang, sedangkan Balai Nan Panjang terdiri dari 17 ruang. Di sinilah tempat Sri Maharaja Diraja dan orang orang besarnya memerintah waktu itu.

Balai nanpanjang
Balai nanpanjang
Bangunan ini merupakan peninggalan Kerajaan Pasumayan Koto Batu. Kerajaan Pasumayan Koto Batu adalah kerajaan tradisional yang pertama berdiri di wilayah Minangkabau. Kerajaan ini mempunyai pusat pemerintahan di wilayah sekitar lereng Gunung Marapi yang kemudian dikenal dengan nama Pariangan dan Padang Panjang. Sedangkan wilayah kekuasaan kerajaan Pasumayan Koto Batu hanya disebutkan dalam Tambo secara kiasan tanpa dapat dijelaskan di mana sebenarnya nama-nama yang disebutkan.


2. Batu batikam

Batu batikam
Batu batikam
Batu Batikam adalah salah satu benda cagar budaya bersejarah di Jorong Dusun Tuo, Nagari Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia, Batu Batikam berarti batu yang tertusuk. Menurut sejarah, lubang atau tusukan yang ada di tengah batu itu merupakan bekas dari tusukan keris Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Luas situs cagar budaya Batu Batikam adalah 1.800 meter persegi, dulu berfungsi sebagai medan nan bapaneh atau tempat bermusyawarah kepala suku. Susunan batu disekeliling batu batikam seperti sandaran tempat duduk, berbentuk persegi panjang melingkar. Pada bagian tengah terdapat batu batikam dari bahan batuan Andesit. Batu ini berukuran 55 x 20 x 40 sentimeter, dengan bentuk hampir segi tiga. Prasasti Batu Batikam menjadi salah satu bukti keberadaan Kerajaan Minangkabau di zaman Neolitikum. Batu batikam merupakan batu tertusuk yang melambangkan pentingnya perdamaian dan musyawarah-mufakat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. 


3. Benteng fort de Cook


Benteng fort de Cook
Benteng fort de Cook
Fort de Kock adalah benteng peninggalan Belanda yang berdiri di Kota Bukittinggi , Sumatera Barat, Indonesia.

Benteng ini didirikan oleh Kapten Bouer pada tahun 1825 pada masa Baron Hendrik Merkus de Kock sewaktu menjadi komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda, karena itulah benteng ini terkenal dengan nama Benteng Fort De Kock. Benteng yang terletak di atas Bukit Jirek ini digunakan oleh Tentara Belanda sebagai kubu pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau terutama sejak meletusnya Perang Paderi pada tahun 1821-1837. Di sekitar benteng masih terdapat meriam-meriam kuno periode abad ke 19. Pada tahun-tahun selanjutnya, di sekitar benteng ini tumbuh sebuah kota yang juga bernama Fort de Kock, kini Bukittinggi.


4. Lubang Jepang

lubang Jepang
Bagian dalam lubang Jepang
Lubang Jepang Bukittinggi (juga dieja Lobang Jepang) adalah salah satu objek wisata sejarah yang ada di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Lubang Jepang merupakan sebuah terowongan (bunker) perlindungan yang dibangun tentara pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan.

Sebelumnya, Lubang Jepang dibangun sebagai tempat penyimpanan perbekalan dan peralatan perang tentara Jepang, dengan panjang terowongan yang mencapai 1400 m dan berkelok-kelok serta memiliki lebar sekitar 2 meter. Sejumlah ruangan khusus terdapat di terowongan ini, di antaranya adalah ruang pengintaian, ruang penyergapan, penjara, dan gudang senjata.

Selain lokasinya yang strategis di kota yang dahulunya merupakan pusat pemerintahan Sumatera Tengah, tanah yang menjadi dinding terowongan ini merupakan jenis tanah yang jika bercampur air akan semakin kokoh. Bahkan gempa yang mengguncang Sumatera Barat tahun 2009 lalu tidak banyak merusak struktur terowongan.

Diperkirakan puluhan sampai ratusan ribu tenaga kerja paksa atau romusha dikerahkan dari pulau Jawa, Sulawesi dan Kalimantan untuk menggali terowongan ini. Pemilihan tenaga kerja dari luar daerah ini merupakan strategi kolonial Jepang untuk menjaga kerahasiaan megaproyek ini. Tenaga kerja dari Bukittinggi sendiri dikerahkan di antaranya untuk mengerjakan terowongan pertahanan di Bandung dan Pulau Biak.

Lubang Jepang mulai dikelola menjadi objek wisata sejarah pada tahun 1984, oleh pemerintah kota Bukittinggi. Beberapa pintu masuk ke Lubang Jepang ini diantaranya terletak pada kawasan Ngarai Sianok, Taman Panorama, di samping Istana Bung Hatta dan di Kebun Binatang Bukittinggi.


5. Istana Pagaruyung

Istana Pagaruyung
Istana Pagaruyung
Istano Basa yang lebih terkenal dengan nama Istana Pagaruyung, adalah sebuah istana yang terletak di kecamatan Tanjung Emas, kota Batusangkar, kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Istana ini merupakan objek wisata budaya yang terkenal di Sumatera Barat.

Istano Basa yang berdiri sekarang sebenarnya adalah replika dari yang asli. Istano Basa asli terletak di atas bukit Batu Patah dan terbakar habis pada sebuah kerusuhan berdarah pada tahun 1804. Istana tersebut kemudian didirikan kembali namun kembali terbakar tahun 1966.

Proses pembangunan kembali Istano Basa dilakukan dengan peletakan tunggak tuo (tiang utama) pada 27 Desember 1976 oleh Gubernur Sumatera Barat waktu itu, Harun Zain. Bangunan baru ini tidak didirikan di tapak istana lama, tetapi di lokasi baru di sebelah selatannya. Pada akhir 1970-an, istana ini telah bisa dikunjungi oleh umum.


Kebakaran 2007 - Pada tanggal 27 Februari 2007, Istano Basa mengalami kebakaran hebat akibat petir yang menyambar di puncak istana. Akibatnya, bangunan tiga tingkat ini hangus terbakar. Ikut terbakar juga sebagian dokumen, serta kain-kain hiasan. Diperkirakan hanya sekitar 15 persen barang-barang berharga yang selamat. Barang-barang yang lolos dari kebakaran tersebut sekarang disimpan di Balai Benda Purbakala Kabupaten Tanah Datar. Harta pusaka Kerajaan Pagaruyung sendiri disimpan di Istano Silinduang Bulan, 2 kilometer dari Istano Basa.

Sementara itu, biaya pendirian kembali istana ini diperkirakan lebih dari Rp 20 miliar.


6. Makam Syeh Burhanuddin

Makam Syeh Burhanuddin
Makam Syeh Burhanuddin
Makam Syeh Burhanudin dibangun didekat Surau Gadang Syeh Burhanudin di Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman. Atas jasa dan perjuangan menyebarkan Islam di Sumatera Barat, hingga saat ini makam Syeikh Burhanuddin mendapat perhatian besar dari para peziarah, terutama oleh para jama'ah Tarekat Shatariyah. Menurut tradisi setempat, ziarah tersebut disebut "Basapa" atau "bersafar" yang dilakukan pada tanggal 10 Safar.

Burhanuddin Ulakan Pariaman atau dikenal dengan sebutan Syeikh Burhanuddin Ulakan (lahir tahun 1646 di Sintuk, Sintuk Toboh Gadang, Kabupaten Padang Pariaman - meninggal 20 Juni 1704 pada umur 58 tahun) adalah ulama yang berpengaruh di daerah Minangkabau sekaligus ulama yang menyebarkan Islam di Kerajaan Pagaruyung. Selain itu ia terkenal sebagai pahlawan pergerakan Islam melawan penjajahan VOC. Ia juga dikenal sebagai ulama sufi pengamal (Mursyid) Tarekat Shatariyah di daerah Minangkabau, Sumatera Barat.

Syeikh Burhanuddin memimpin pesantren tidak begitu lama, setelah sepuluh tahun memimpin ia meninggal. Kemudian, pesantren tersebut dilanjutkan di bawah kepemimpinan puteranya, Syeikh Abdullah Faqih.


7. Menhir batu besar atau megalit

Menhir batu besar atau megalit
Menhir di Kab. 50kota
Di pelosok desa Mahat, kecamatan Suliki Gunung Mas, kabupaten Limapuluhkota banyak ditemukan peninggalan kebudayaan megalitikum. Di desa ini dapat disaksikan pemandangan kumpulan batu-batu menhir dengan latar belakang perkebunan tanaman gambir yang menyerupai panorama perkebunan teh di daerah Puncak, Jawa Barat. Karena pemandangan inilah, pada tahun 1981 desa Mahat dimasukkan dalam salah satu objek wisata dari 73 objek wisata di kabupaten ini.

Batu besar peninggalan zama Megalitikum ini dijadikan Objek Cagar Budaya dengan nama Kawasan megalit Belubus dan Kawasan Megalit maek.


8. Prasasti Batu Basurek

Batu Basurek
Batu Basurek
Batu Basurek atau batu tulis merupakan prasasti peninggalan kerajaan Pagaruyung semasa pemerintahan Raja Adityawarman. Batu Basurek ini terdapat antara lain di daerah Kubu Rajo Nagari Lima Kecamatan Lima Kaum serta di daerah Koto Tangah Nagari Pagaruyung Kecamatan Tanjuang Ameh.

Prasasti ini ditulis menggunakan huruf jawa kuno dalam bahasa sanskerta. Isinya bercerita tentang Raja Adityawarman sebagai penguasa negeri emas yang murah hati dan penuh belas kasih. Diperkirakan prasasti ini ditulis pada tahun 1300-an masehi. Batu ini terletak di atas makam Raja Adityawarman dengan tulisan kuno. Lebar batu basurek yaitu 25 cm dengan tinggi 80 cm, ketebalan 10 cm dan berat 50 kg.


9. Tugu PDRI


Tugu PDRI
Tugu PDRI
Tugu PDRI, Monumen Nasional PDRI atau Monumen Nasional Bela Negara adalah monumen peringatan yang didirikan untuk memperingati sejarah perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia ketika ibu kota Indonesia jatuh ke tangan Belanda pada Agresi Militer Belanda Kedua. Monumen ini dibangun di area seluas 40 hektare di salah satu kawasan yang pernah menjadi basis PDRI, yaitu di Jorong Sungai Siriah, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.


10. Prasasti Kuburajo

Prasasti Kuburajo
Prasasti Kuburajo
Prasasti Kuburajo (juga disebut Prasasti Kuburajo I atau Prasasti Koeboer Radja) ditemukan di daerah Kuburajo 0,463309°LS 100,578461°BT, Limo Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pada tahun 1877 dan didaftarkan oleh N.J. Krom dalam "Inventaris der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden" (OV 1912:41). Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sanskerta, yang terdiri atas 16 baris tulisan. Prasasti ini merupakan salah satu dari sekian banyak prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman.

Adityawarman merupakan pelanjut dari Dinasti Mauli penguasa pada Kerajaan Melayu yang sebelumnya beribu kota di Dharmasraya, dan dari manuskrip pengukuhannya ia menjadi penguasa di Malayapura Swarnnabhumi atau Kanakamedini pada tahun 1347 dengan gelar Maharajadiraja Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa, dan di kemudian hari ibu kota dari kerajaan ini pindah ke daerah pedalaman Minangkabau.

Prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman:
  • Batu Nisan Raja Adityawarman di Limokaum Batusangkar, bertuliskan tahun 1356.
  • Patung Adityawarman ditemukan oleh pemerntah Hindia Belanda di Padangrocok dekat sungai Lansek, yang saat ini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
  • Prasasti Adityawarman dari Suroaso ( Batusangkar ).

Berbagai sumber
Contoh Peninggalan Sejarah Provinsi Riau

Contoh Peninggalan Sejarah Provinsi Riau

Riau (Jawi: رياو) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian tengah pulau Sumatera. Provinsi ini terletak di bagian tengah pantai timur Pulau Sumatera, yaitu di sepanjang pesisir Selat Melaka. Hingga tahun 2004, provinsi ini juga meliputi Kepulauan Riau, sekelompok besar pulau-pulau kecil (pulau-pulau utamanya antara lain Pulau Batam dan Pulau Bintan) yang terletak di sebelah timur Sumatera dan sebelah selatan Singapura. Kepulauan ini dimekarkan menjadi provinsi tersendiri pada Juli 2004. Ibu kota dan kota terbesar Riau adalah Pekanbaru. Kota besar lainnya antara lain Dumai, Selatpanjang, Bagansiapiapi, Bengkalis, Bangkinang, Tembilahan, dan Rengat.


Mesjid Raya Pekanbaru

Mesjid Raya Pekanbaru
Masjid Raya Pekanbaru merupakan mesjid tertua di Pekanbaru yang dibangun pada abad ke 18 tepatnya 1762. Mesjid yang terletak di Jalan Senapelan, Kp. Bandar, Kec. Senapelan, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau ini memiliki arsitektur tradisional. Mesjid yang juga merupakan bukti Kerajaan Siak Sri Indrapura pernah bertahta di Pekanbaru (Senapelan) yaitu di masa Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah sebagai Sultan Siak ke-4 dan diteruskan pada masa Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah sebagai Sultan Siak ke-5.

Sejarah berdirinya Mesjid Raya Pekanbaru dikisahkan ketika di masa kekuasaan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahkan dan menjadikan Senapelan (sekarang Pekanbaru) sebagai Pusat Kerajaan Siak. Sudah menjadi adat Raja Melayu saat itu, pemindahan pusat kerajaan harus diikuti dengan pembangunan "Istana Raja", "Balai Kerapatan Adat", dan "Mesjid". Ketiga unsur tersebut wajib dibangun sebagai representasi dari unsur pemerintahan, adat dan ulama (agama) yang biasa disebut "Tali Berpilin Tiga" atau "Tungku Tiga Sejarangan".

Di areal mesjid terdapat sebuah sumur yang mempunyai nilai magis, sering wisatawan mancanegara terutama wisatawan Malaysia mandi air sumur ini untuk membayar niat atau nazar yang dihajadkan sebelumnya.


Makam Mahrum Bukit Dan Mahrum Pekan

Makam Sultan Marhum Bukit dan makam Marhum Pekan beserta pada keluarganya terletak dalam areal Mesjid Raya Pekanbaru, mengunjungi Makam berarti kita telah mengunjungi makam pendiri kota Pekanbaru.

Marhum Bukit adalah Sultan Siak IV (Sultan Abdul Jalil Jalaludin Syah) yang memerintah pada tahun 1766-1780 naik tahta menggantikan Sultan Abdul Jalil Jalaludin Syah. Beliau terkenal sebagai seorang Sultan yang alim dan taat. Salah seorang puterinya Tengku Embung Badariah dikawinkan dengan seorang Bangsawan Arab keturunan Nabi Muhammad yang bernama Sayed Syarif Osman ibnu Syarif Abdul Rakhman Syahabuddin.

Marhum Bukit sekitar tahun 1775 memindahkan ibukota kerajaannya dari Mempura Siak ke Senapelan dan Beliau mangkat tahun 1780. Sedangkan Marhum Pekan adalah Sultan V dari kerajaan Siak Sri Indrapura bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah yang memerintah pada tahun 1780-1782. Marhum Pekan naik tahta kerajaan menggantikan ayahanda Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah.

Marhum Pekan terkenal dengan keperkasaannya terutama dalam peperangan melawan Belanda di Pulau Guntung dan beliau pulalah pendiri dan pembesar kota Pekanbaru. Diadakannya PEKAN (pasar) pada waktu-waktu tertentu merupakan awal berkembangnya kota Pekanbaru hingga sekarang ini, dan atas jasa-jasanya setelah mangkat beliau gelari Marhum Pekan serta dimakamkan bersama ayahanda, adinda dan iparnya di komplek Mesjid Raya ini.


Balai Adat Riau

Balai adat melayu Riau
Balai adat Riau adalah sebuah gedung yang terletak di Jalan Pangeran Diponegoro Pekanbaru, dibangun dan dihiasi dengan bermacam bentuk ukiran dan motif tenunan. Balai adat ini dibangun untuk berbagai kegiatan yang berkaitan dengan adat Resam Melayu Riau, dan sekarang sering pula dimanfaatkan untuk pertemuan-pertemuan.

Terletak di pusat Kota Pekanbaru, tepatnya di Jalan Diponegoro no 39, bersebelahan dengan GOR Tribuana. Gedung Balai Adat Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau yang mengusung arsitektur khas Melayu ini merupakan salah satu gedung yang didirikan untuk mewadahi dan membina pelestarian Budaya Melayu Di Riau. Lembaga Adat Melayu Riau berdiri pada tanggal 6 Juni 1970.

Bangunan Rumah Balai Adat Riau ini terdiri dari dua lantai. Lantai pertama dipakai oleh organisasi kemasyarakatan yakni Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau. Sedangkan di lantai dua sebagai tempat pertemuan.

Arsitekturnya yang khas melambangkan kebesaran budaya Melayu Riau. Bangunan terdiri dari dua tantai, di bagian lantai atas terpampang dengan jelas beberapa ungkapan adat dan fasal-fasal Gurindam Dua Belas Karya Raja Ali Haji. Di kiri kanan masuk ruang pintu utama dengan jelas dapat kita baca fasal pertama, kedua, ketiga dan keempat dari Gurindam Dua Belas tersebut. Sedangkan pasal kelima, keenam-ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh, kesebelas dan kedua belas terdapat di bagian dinding sebelah dalam dari ruang utama.


Bukit Batu, Bekas Tapak Kaki Manusia

Bukit Batu terkenal karena Lancang Kuning dan Legenda Datuk Laksemana Raja di Laut, disini terdapat bekas tapak kaki manusia di atas batu dengan ukuran luar biasa besarnya, dan dilengkapi dengan keindahan alam yang sangat menarik sebagai objek wisata budaya peninggatan sejarah dan wisata alam.

Desa Bukit Batu juga memiliki peninggalan sejarah lainnya seperti rumah peninggalan Datuk Laksemana, Meriam dan rumah-rumah yang bercirikan Khas Melayu.  Tempat ini berlokasi di sungai Pakning, Kabupaten Bengkalis.


Komplek Istana Kerajaan Siak

Komplek Istana Kerajaan Siak
Istana Siak Sri Inderapura atau Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Matahari Timur merupakan kediaman resmi Sultan Siak yang mulai dibangun pada tahun 1889, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim. Istana ini merupakan peninggalan Kesultanan Siak Sri Inderapura yang selesai dibangun pada tahun 1893. Kini istana ini masuk wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Siak.

Kompleks istana ini memiliki luas sekitar 32.000 meter persegi yang terdiri dari 4 istana yaitu Istana Siak, Istana Lima, Istana Padjang, dan Istana Baroe. Istana Siak sendiri memiliki luas 1.000 meter persegi.

Kerajaan Siak Sri Indrapura adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang terbesar di Daerah Riau, mencapai masa jayanya pada abad ke 16 sampai abad ke 20, dalam silsilah Sultan-sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura dimulai pada tahun 1725 ada 12 sultan yang pernah bertahta. Lokasi berada di Kecamatan Siak Sri Indrapura, Kabupaten Bengkalis.


Makam Marhum Buantan

Makam Marhum Buantan terletak di Kecamatan Siak Sri Indrapura, Kabupaten Bengkalis. Marhum Buantan  adalah pendiri kerajaan dan Sultan Siak I yang bergelar Abdul Jalil Rakhmad Syah Yang Dipertuan Muda Raja Kecil.

Sultan Abdul Jalil Syah atau Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I, dikenal juga dengan panggilan Raja Kecik atau Raja Kecil dari Pagaruyung, merupakan saudara dari Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Indermasyah, kemudian mendirikan Kesultanan Siak Sri Inderapura.

Marhum Buantan (mangkat tahun 1746) adalah pendiri kerajaan dan Sultan Siak I yang bergelar Abdul Jalil Rakhmad Syah Yang Dipertuan Muda Raja Kecil, memerintah dari tahun 1725 hingga tahun 1746. Beliau adalah orang yang menyusun tata pemerintahan dan tata adat menurut dasar tata kerajaan Melayu seperti : Lambang kerajaan yang terdiri dari sebuah payung, sembilan keris panjang, sembilan pedang dan sebatang tombak dengan warna kuning. Disamping lambang kerajaan. Orang Besar kerajaan yang diangkat untuk mendampingi Sultan dalam melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari merupakan Kepala Persukuan bergelar Datuk. Demikian pula halnya Balai Penghadapan, pemakaian gelar dan upacara kerajaan telah diletakkannya sebagai dasar tata kerajaan Melayu.

Selain itu, Marhum Buantan menjadikan agama Islam sebagai agama kerajaan dan seluruh tata adat diatur menurut hukum Syarak. Marhum mempunyai tiga orang putera, masing-masing : Tengku Alam, Tengku Tengah dan Tengku Buang Asmara, bergelar Tengku Mahkota.

Marhum Buantan (Raja Kecil) memerintah selama kurang lebih 21 tahun telah menempatkan kerajaannya sebagai dasar dari sebuah kerajaan besar yang telah berkembang di bawah pemerintahan keturunannya.

Sultan Abdul Jalil Syah mangkat pada tahun 1746 dan dimakamkan di Buantan kemudian digelari dengan Marhum Buantan. Kemudian kedudukannya digantikan oleh putranya, yang bernama Sultan Mahmud.


Mesjid Kerajaan Siak Sri Indrapura (Mesjid Syahabuddin)

Mesjid Kerajaan Siak Sri Indrapura (Mesjid Syahabuddin)
Masjid Syahabudin yang pertama terletak di Jalan Syarif Kasim dibangun tahun 1302 Hijriah bertepatan dengan tahun 1882 Miladiah, berdekatan dengan istana kesultanan. Bangunan fisiknya terbuat dari kayu, di dalamnya terdapat mimbar yang berukir dari Jepang. Kemudian masjid Syahabudin dipindahkan secara permanen pembangunannya ke Jalan Sultan Ismail di tepi Sungai Siak, berjarak lebih kurang 300 M dari istana As Seraya Hasniliyah Siak.

Masjid Syahabudin didirikan oleh Sultan yang ke-12 bernama Sultan Assayyidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaefudin (Sultan Syarif Qasim II), dimulai pada tahun 1927 dan selesai dibangun pada tahun 1935. Dana pembangunan masjid tersebut berasal dari dana kerajaan dan partisipasi masyarakat Siak. Dalam pelaksanaan pembangunan masjid, untuk menimbun tanah khususnya pondasi masjid dilakukan secara gotong-royong oleh kaum ibu pada malam hari, mengingat masa itu masih berlaku Adat Pingitan bagi kaum wanita (pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Qasim II).

Mesjid ini arsitekturnya agak unik dan terletak hanya beberapa ratus meter dari Istana Kerajaan, dipinggiran sungal Siak. mesjid ini berlokasi di Kecamatan Siak Sri Indrapura, Kabupaten Bengkalis.


Makam Keluaga Raja

Kerajaan Siak Sri Indrapura yang diperintah oleh 12 sultan tentunya mempunyai banyak keluarga. Diantara Sultan dan keluarganya yang meninggal dunia ada yang dimakamkan di Siak, seperti Marhum Sultan Syarif Hasyim di Kota Tinggi, disebelah kanan mesjid kerajaan juga terdapat makam Sultan Syarif Kasyim dan para keluarga sultan lainnya. Makam Keluaga Raja beralamat di Kecamatan Siak Sri Indrapura, Kabupaten Bengkalis.


Balai Kerapatan Tinggi

Balai kerapatan tinggi
Balai Kerapatan Tinggi Kerajaan Siak ini dibangun dipinggir sungai Siak bersamaan dengan pembangunan Istana Kerajaan pada masa pemerintahan Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin, dalam tahun 1889. Bangunan ini dahulunya sering dipergunakan untuk tempat bermusyawarah, persidangan serta pengadilan.

Mengunjungi Istana Siak tentu tak terlewatkan pula mengunjungi Balai Kerapatan Tinggi yang penuh sejarah ini, letaknya tak berjauhan dengan Mesjid Istana Hassirayatul Hasyimiah. Balai Kerapatan Tinggi berlokasi di Kecamatan Siak Sri Indrapura, Kabupaten Bengkalis.



Masjid Jamik Air Tiris

Masjid Jami Air Tiris
Masjid Jami Air Tiris adalah salah satu masjid tertua di kabupaten Kampar, provinsi Riau, indonesia. Masjid ini dibangun pada tahun 1901 M[ atas prakarsa seorang ulama bernama Engku Mudo Songkal, sebagai panitia pembangunannya adalah yang disebut dengan “Ninik Mamak Nan Dua Belas” yaitu para ninik-mamak dari berbagai suku yang ada dalam seluruh kampung. Tahun 1904 masjid ini selesai dibangun dan diresmikan oleh seluruh masyarakat Air Tiris dengan menyembelih 10 ekor kerbau.

Masjid ini terletak di desa Tanjung Berulak, Pasar Usang, Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Berjarak Lebih kurang 13 km dari Bangkinang, Ibukota Kabupaten Kampar dan 52 km dari Pekanbaru, Riau, Indonesia.

Arsitektur masjid ini menunjukkan adanya perpaduan gaya arsitektur Melayu dan Cina, dengan atap berbentuk limas. Keunikan masjid ini adalah, bahwa seluruh bagian bangunan terbuat dari kayu, tanpa menggunakan besi sedikitpun, termasuk paku. Pada dinding bangunan, terdapat ornamen ukiran yang mirip dengan ukiran yang terdapat di dalam masjid di Pahang, Malaysia.


Makam Syekh Abdurrachman Siddiq

Makam Syekh Abdurrahman Siddiq di Kampung Hidayat Sapat Kecamatan Kuala Indragiri Kabupaten Indragiri Hilir. Dapat ditempuh kurang lebih 30 menit dari Tembilahan sebagai ibukota Kabupaten Indragiri Hilir dengan speed boat.

Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad 'Afif bin Mahmud bin Jamaluddin Al-Banjari (lahir di Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan tahun 1857 – meninggal di Sapat, Indragiri Hilir, Riau 10 Maret 1930 pada umur 72 tahun) adalah seorang ulama dari etnis Banjar yang dikenal dimana-mana bahkan sampai di Mekkah karena ia juga menjadi pengajar di Masjidil Haram. Muridnya tersebar sampai ke Singapura, Malaysia dan Kalimantan.


Makam Hang Nadim

Makam Hang Nadim terletak di Bukit Bintan, Bintan Utara,  kabupaten Bintan, Indonesia. Hang Nadim adalah Laksamana Melayu yang terbesar  sesudah Laksamana Hang Tuah. Wafat di pulau Bintan pada tahun 1504 M.


Makam Daeng Marewa

Daeng Marewah adalah Yang Dipertuan Muda I dari Kesultanan Johor (kemudian menjadi Kesultanan Lingga). Setelah memenangkan perang melawan Raja Kecik, Sultan Sulaiman Badrul'alam Syah Sultan Johor pada saat itu, maka ia mengangkat Daeng MarEwa sebagai Yang Dipertuan Muda Riau I (1721-1729), bergelar Kelana Jaya Putera. Yang Dipertuan Muda adalah sebuah jabatan yang setingkat dengan Perdana Menteri berkuasa penuh, dimana segala wewenang dan urusan pemerintahan berada dalam kekuasaannya.

Makam Daeng Marewah berlokasi di Kecamatan Tanjungpinang Timur, Kabupaten Kepulauan Riau.


Makam Daeng Celak

Daeng Celak adalah ayahanda dari Raja Haji, Yang Dipertuan Muda IV kerajaan Riau menggantikan Yang Dipertuan Muda III, Daeng Kamboja. Daeng Celak sendiri adalah Yang Dipertuan Muda II sebagai kepala pemerintahan pada tahun 1727-1745, menggantikan Yang Dipertuan Muda I, Daeng Marewa.

Daeng Marewa dan Daeng Celak menjadi Yang Dipertuan Muda pada periode Riau-Lingga di bawah pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Makam Daeng Celak terdapat di Kota Lama dan dapat ditempuh dengan pompong dari Tanjungpinang + 25 menit.

Daeng Celak mangkat dan diamkamkan di Ulu Riau (Lokasi : Kecamatan Tanjungpinang Timur, Kabupaten Kepulauan Riau) pada tahun 1745, Baginda digelar Marhum Mangkat di Kota oleh orang-orang Riau.


Prasasti Pasir Panjang 

Prasasti Pasir Panjang
Prasasti Pasir Panjang
Prasasti Pasir Panjang merupakan peninggalan bersejarah berupa batu tertulis. Tulisan yang terdapat pada batu ini terdiri dari tiga baris. Tulisan yang tertera merupakan aksara nagari dan berbahasa Sansekerta yang berbunyi “Mahayunika Galagantricacri”. Dari tulisan yang terdapat pada batu ini para ahli menyimpulkan bahwa tulisan itu mengandung arti “Pemujaan  kepada Sang Budha melalui Tapak KakiNya”. Prasasti ini dipercaya berasal dari abad IX-X Masehi. Sementara itu ada juga yang berpendapat berasal dari abad ke XI dan XII.

Prasasti Pasir Panjang terletak di lereng bukit batu granit di wilayah Desa Pasir Panjang. Prasasti ini ramai dikunjungi oleh turis dalam dan luar negeri. Bahkan banyak para peneliti yang mempelajarinya. Di samping itu prasasti tersebut dianggap tempat keramat bagi umat Budha sehingga ramai orang Tionghoa yang datang berziarah guna keselamatan dan meminta berkah. Prasasti ini merupakan potensi wisata yang sudah dikembangkan dan dikelola oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Karimun.


Makam Engku Putri

Makam Engku Putri Permaisuri Sultan Mahmud ini terletak di pulau Penyengat Indra Sakti, Kecamatan Tanjungpinang Barat, Kabupaten Kepulauan Riau. Engku Putri adalah milik pulau Penyengat, karena pulau ini dihadiahkan suaminya Sultan Mahmud Syah sebagai mas kawinnya sekitar tahun 1801-1802. Selain itu Engku Putri adalah pemegang regalia kerajaan Riau.

Bangunan makam terbuat dari beton, dikelilingi oleh pagar tembok pada tempat yang ketinggian. Dahulu atap bangunan makam dibuat bertingkat-tingkat dengan hiasan yang indah.

Di kompleks ini terdapat pula makam tokoh-tokoh terkemuka kerajaan Riau, seperti makam Raja Haji Abdullah (Marhum Mursyid)

Yang Dipertuan Muda Riau IX, makam raja Ali Haji, pujangga Riau yang terkenal "Gurindam Dua Belas", makam Raja Haji Abdullah, makam Mahkamah Syariah kerajaan Riau-Lingga, makam Tengku Aisyah Putri - Yang Dipertuan Muda Riau IX, dan kerabat-kerabat Engku Putri yang lain.

Sejarah Riau mencatat bahwa Engku Putri (Raja Hamidah) adalah putri Raja Syahid Fisabilillah Marhum Teluk Ketapang - Yang Dipertuan Muda Riau IV - yang termashur sebagai pahlawan Riau dalam menentang penjajahan Belanda. Sebagai putri tokoh ternama, Engku Putri besar peranannya dalam pemerintahan kerajaan Riau, sebab selain memegang regalia (alat-alat kebesaran kerajaan) beliau adalah permaisuri Sultan Mahmud, dan tangan kanan dari Raja Jaafar - Yang Dipertuan Muda Riau VI.

Sebagai pemegang regalia kerajaan, beliau sangatlah menentukan dalam penabalan sultan, karena penabalan itu haruslah dengan regalia kerajaan. Engku putri pernah pula melakukan perjalanan ke beberapa daerah lain, seperti ke Sukadana, Mempawah dan lain-lain untuk mempererat tali persaudaraan antara kerajaan Riau dengan kerajaan yang dikunjunginya.

Tokoh ternama dari kerajaan Riau ini mangkat di pulau Penyengat bulan Juli tahun 1884.


Mesjid Raya Sultan Riau

Lokasi : Pulau Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Barat
Kabupaten : Kepulauan Riau

Mesjid yang menjadi kebanggaan orang Melayu Riau ini didirikan pada tanggal 1 Syawal 1249 H (1832 M) atas prakarsa Raja Abdurrahman, Yang Dipertuan Muda Riau VII. Bangunan mesjid ini seluruhnya terbuat dari beton, berukuran 18 x 19,80 meter. Di bagian dalam ruang utama terdapat empat buah tiang utama. Pada keempat sudut bangunan berdiri empat buah menara, sedangkan atapnya terdiri dari 13 buah kubah yang unik. Cerita masyarakat tempatan menyebutkan,untuk membangun mesjid ini, terutama untuk memperkuat beton kubah, menara dan bagian tertentu lainnya, dipergunakan bahan perekat dari campuran putih telur dan kapur. Pelaksanaan pembangunannya melibatkan seluruh lapisan masyarakat di kerajaan Riau, yang bekerja siang malam secara bergiliran.

Di dalam mesjid ini tersimpan pula kitab-kitab kuno (terutama yang menyangkut agama Islam) yang dulunya menjadi koleksi perpustakaan didirikan oleh Raja Muhammad Yusuf AI Ahmadi,Yang Dipertuan Muda Riau X. Benda lain yang menarik dan terdapat dalam mesjid ini adalah mimbarnya yang indah, serta kitab suci AI Qur'an tulisan tangan.


Bekas Gedung Tabib Kerajaan

Lokasi : Pulau Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Barat
Kabupaten : Kepulauan Riau

Sisa gedung Engku Haji Daud ini hanya berupa empat bidang dinding tembok dengan beberapa buah rangka pintu dan jendela. Gedung ini dahulu dikenal dengan sebutan Gedung Engku Haji Daud atau Gedung Tabib Kerajaan, karena beliau adalah Tabib Kerajaan Riau. Bekas gedung ini banyak menarik pengunjung karena disamping peninggalan sejarah juga terletak di tengah kediaman ramai.


Makam Raja Haji

Lokasi : Pulau Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Barat
Kabupaten : Kepulauan Riau

Raja Haji-Yang Dipertuan Muda Riau IV-adalah pahlawan Melayu yang amat termashur. Beliau berperang melawan penjajah Belanda sejak berusia muda sampai akhir hayatnya dalam peperangan hebat di Tetuk Ketapang tahun 1784.

Raja Haji yang hidup antara tahun 1727-1784 itu telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin, hulubalang dan ulama. Para penulis sejarah mencatat, terutama pada tahun 1782-1784 cukup berpengaruh terhadap stabilitas sosial politik dan ekonomi di wilayah Nusantara dan negeri-negeri Belanda yang sangat tergantung terhadap sumber perekonomiannya di Timur.

Pihak Belanda bahkan menganggap bahwa perang yang dipimpin Raja Haji adalah peperangan yang cukup besar dan sempat menggoncangkan kedudukan Belanda di Nusantara. Karena kepahlawanannya itulah, Raja Haji diagungkan masyarakat Melayu, disebut dengan gelar Raja Haji Fisabilillah Marhum Teluk Ketapang.

Ketika beliau mangkat dalam peperangan hebat di Teluk Ketapang, jenazahnya kemudian dibawa ke Malaka dan dikebumikan disana. Baru beberapa tahun kemudian jenazah beliau dibawa ke pulau Penyengat dan disemayamkan dalam makam yang terletak di Bukit Selatan pulau Penyengat, bersebelahan dengan makam Habib Syekh, seorang ulama terkemuka di kerajaan Riau-Lingga.


Makam Raja Jaafar

Lokasi : Pulau Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Barat
Kabupaten : Kepulauan Riau

Raja Jaafar - Yang Dipertuan Muda Riau VI - adalah putra Raja Haji Sahid Fisabilillah Marhum Teluk Ketapang. Raja Jaafar menjadi Yang Dipertuan Muda Riau VI tahun 1806-1831. Ketika mangkatnya digelar Marhum Kampung Ladi.

Kompleks makam almarhum Raja Jaafar seluruhnya dibuat dari beton, indah dan kokoh. Pada makam ini terdapat pilar-pilar, kubah-kubah dari beton yang dihiasi ornamen yang menarik. Di luar cungkup makam ini, dalam kompleks makam terdapat pula kolam air yang dilengkapi tangga batu tempat berwuduk. Di kompleks makam ini terdapat pula makam-makam keluarga bangsawan lainnya.


Makam Raja Abdurrakhman

Lokasi : Pulau Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Barat
Kabupaten : Kepulauan Riau

Raja Abdurrakhman - Yang Dipertuan Muda Riau VII - ketika mangkatnya digelar Marhum Kampung Bulang. Raja Abdurrakhman menjadi Yang Dlpertuan Muda Riau tahun 1832-1844. Beliau terkenal aktif dalam menggalakkan pembangunan di pulau ini, serta taat beribadah. Salah satu hasil upaya beliau yang utama adalah pembangunan Mesjid Raya Penyengat. Karena jasanya itutah, ketika beliau meninggal dunia jenazahnya dikebumikan hanya beberapa ratus meter di bagian belakang mesjid, terdapat pada sebuah lereng bukit.


Bekas Istana Sultan Abdurrakhman Muazzam Syah

Lokasi : Pulau Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Barat
Kabupaten : Kepulauan Riau

Bangunan bekas istana Sultan Riau yang terakhir ini hanya berupa puing-puing belaka dahulu. Istana ini disebut Kedaton, dengan lapangan luas di sekitarnya.

Istana ini mulai rusak sejak Sultan Abdurrakhman Muazzam Syah (1833-1911) meninggalkan Penyengat karena dimusuhi Belanda, akibat sikap beliau menentang pemerintahan Betanda tahun 1911. Beliau segera ke Daik dan bergegas meninggalkan Daik dan untuk selanjutnya bermukim di Singapura sampai akhir hayatnya. Sejak itu istana ini tinggal terlantar dan akhirnya runtuh sama sekali, kini tinggal puingnya.


Bekas Gedung Tengku Bilik

Lokasi : Pulau Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Barat
Kabupaten : Kepulauan Riau

Bangunan ini bertingkat dua, walaupun sudah rusak tapi bentuk aslinya masih kelihatan. Bentuk bangunannya merupakan ciri-ciri kesukaan para bangsawan Melayu akhir abad XIX, karena seni bangunan seperti itu masih ditemui di Singapura (istana Kampung Gelam), di Johor dan tempat-tempat lain di semenanjung Malaysia. Bangunan ini masih ditempati sampai masa Perang Dunia II dan sekarang masih menarik pengunjung yang datang ke pulau Penyengat.

Pemilik gedung ini, yaitu Tengku Bilik, adik sultan Riau terakhir, bersuamikan Tengku Abdul Kadir.


Gudang Mesiu

Lokasi : Pulau Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Barat
Kabupaten : Kepulauan Riau

Tak seberapa jauh dari Mesjid Raya Penyengat terdapat bangunan kecil yang seluruhnya terbuat dari beton, tampak amatlah kokoh dengan temboknya setebal satu hasta dengan jendela-jendela kecil berjeriji besi.

Sesuai dengan namanya, gedung ini dahulunya tempat menyimpan mesiu, yang oleh penduduk di daerah ini disebut obat bedil. Melihat gedung ini akan memberi bayangan betapa siapnya kerajaan Riau - Lingga dalam menentang penjajahan di negerinya.

Dahulu, menurut cerita tempatan, di pulau ini terdapat empat buah gedung tempat menyimpan mesiu dan kini hanya tinggal satu ini.


Kubu Dan Parit Pertahanan

Lokasi : Pulau Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Barat
Kabupaten : Kepulauan Riau

Di Penyengat terdapat kubu dan parit pertahanan kerajaan Riau dalam peperangan melawan Belanda tahun 1782-1784. Kubu-kubu ini terletak di bukit Penggawa, bukit Tengah dan bukit Kursi. Dahulu, kubu-kubu ini seluruhnya dilengkapi dengan meriam dalam berbagai ukuran. Bagi para wisatawan yang berkunjung, kubu ini amatlah menarik, karena selain mengandung nilai sejarah juga pemandangan alam dari kubu-kubu ini sangat indah pula.


Daik (Bekas Pusat Kerajaan Riau Lingga)

Lokasi : Kecamatan Lingga
Kabupaten : Kepulauan Riau

Daik, dahulunya hampir selama seratus tahun menjadt pusat kerajaan Riau-Lingga, sekarang menjadi ibu kota Kecamatan Lingga, Kabupaten Kepulauan Riau.

Kota Daik yang terletak di sungai Daik, hanya dapat dilalui perahu atau kapal motor di waktu air pasang. Kalau air surut, sungai Daik mengering dan tak dapat dilalui. Perhubungan lainnya adalah melalui jalan darat ke desa Resun di sungai Resun. Dari sana melalui sungai itu terus ke muara (Pancur) yang terletak di pantai utara pulau Lingga, berseberangan dengan Senayang.

Selama seratus tahun Daik menjadi pusat kerajaan, tentulah terdapat berbagai peninggalan sejarah dan sebagainya. Raja-raja kerajaan Riau-Lingga yang memerintah kerajaan selama periode pusat kerajaan di Daik Lingga yaitu : Sultan Abdurakhman Syah (1812-1832), Sultan Muhammad Syah (1832-1841), Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857), Sultan Sulalman Badrul Alam Syah II (1857-1883) dan Sultan Abdurrakhman Muazzam Syah (1883-1911).


Balai Adat Indra Perkasa

Lokasi : Pulau Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Barat
Kabupaten : Kepulauan Riau

Gedung dengan arsitektur tradisional Melayu Kepulauan ini dijadikan Balai Adat untuk memperagakan berbagai bentuk upacara adat Melayu. Letaknya di tepi pantai menghadap laut lepas, amatlah mempesona.

Di dalam gedung ini dapat dilihat tata ruangan dan beberapa benda kelengkapan adat Resam Melayu atau beberapa atraksi kesenian yang diadakan untuk menghormati tamu tertentu.


Mesjid Jamik Daik

Lokasi : Kecamatan Lingga
Kabupaten : Kepulauan Riau

Mesjid Jamik terletak di kampung Darat, Daik Lingga, dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Riayat Syah (1761-1812) pada masa awal beliau memindahkan pusat kerajaan dari Bintan ke Lingga. Sumber tempatan menyebutkan bahwa bangunan mesjid ini dimulai sekitar tahun 1803, dimana bangunan aslinya seluruhnya terbuat dari kayu. Kemudian setelah Mesjid Penyengat selesai dibangun, maka bangunan Mesjid Jamik ini dirombak dan dibangun lagi dari beton.

Mesjid ini di dalam ruang utamanya tidaklah mempergunakan tiang penyangga kubah atau lotengnya. Pada mimbarnya terdapat tulisan yang terpahat dalam aksara Arab-Melayu (Jawi), berisi : "Muhammad SAW. Pada 1212 H hari bulan Rabiul Awal kepada hari Isnen membuat mimbar di dalam negeri Semarang Tammatulkalam." Tulisan ini memberi petunjuk, bahwa mimbar yang indah ini dibuat di Semarang, Jawa Tengah dengan memasukan motif-motif ukiran tradisional Melayu.


Bekas Istana Damnah

Lokasi : Kecamatan Lingga
Kabupaten : Kepulauan Riau

Yang tersisa dari bangunan yang dahulunya sangat megah ini hanyalah tangga muka, tiang-tiang dari sebahagian tembok pagarnya yang seluruhnya terbuat dari beton. Sekarang puing istana ini terletak dalam hutan belantara yang disebut kampung Damnah.

Istana Damnah didirikan oleh Raja Muhammad Yusuf AI-Ahmadi, Yang Dipertuan Muda Riau X (1857-1899). Dalam tahun 1860 olehnya didirikan istana Damnah untuk kediaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II, dimana sebelumnya Sultan ini di Istana Kota Baru tak berjauhan dari pabrik sagu yang didirikannya.


Gedung Bilik 44

Lokasi : Kecamatan Lingga
Kabupaten : Kepulauan Riau

Yang disebut gedung bilik 44 adalah pondasi gedung yang akan dibangun oleh Sultan Mahmud Muzafar Syah. Gedung ini baru dikerjakan pondasinya saja karena Sultan keburu dipecat Belanda tahun 1812. Lokasinya terletak di lereng gunung Daik.

Walaupun gedung ini belum sempat berdiri, tetapi dari pondasinya yang berjumlah 44 itu sudah dapat kita bayangkan betapa besarnya minat Sultan Mahmud untuk membangun negerinya. Di gedung ini, menurut rencana Sultan akan ditempatkan para pengrajin yang ada di kerajaan Riau-Lingga, supaya mereka dapat bekerja lebih tenang serta mengembangkan keahliannya. Namun cita-cita Sultan Mahmud terkandas oleh penjajah asing.


Kubu Pertahanan

Lokasi : Kecamatan Lingga
Kabupaten : Kepulauan Riau

Daik sebagai pusat kerajaan Riau-Lingga tentulah memerlukan pengawalan ketat. Perairan selat Malaka yang masa silam selalu ramai dengan desingan peluru dan asap mesiu. Untuk menjaga berbagai kemungkinan dalam pertempuran, di Daik Lingga dan sekitarnya didirikan kubu-kubu yang kokoh dengan persenjataan lengkap menurut keadaan zamannya, yang terdapat di pulau Mepar, Kubu Bukit Ceneng dan Kubu Kuala Daik.


Makam Bukit Cengkeh

Lokasi : Kecamatan Lingga
Kabupaten : Kepulauan Riau

Di Bukit Cengkeh, Daik, terdapat kompleks makam raja-raja Riau-Lingga. Bangunan ini dulunya amat indah, bentuknya segi delapan dengan kubah bergaya arsitektur Turki. Kini makam ini sudah runtuh, yang tersisa hanya sebagian dindingnya dan pagar beton kelilingnya. Di kompleks makam ini terdapat pusara : Sultan Abdurrakhman Syah (1812-1832), beberapa anggota keluarga kerajaan Riau-Lingga. Makam ini tidaklah sulit dicapai karena terletak di pinggir jalan raya, di atas Bukit Cengkeh yang indah pemandangannya.


Makam Merah

Lokasi : Kecamatan Lingga
Kabupaten : Kepulauan Riau

Disebut makam merah karena warna cat bangunannya merah, tiangnya terbuat dari besi, pagarnya dari besi dan atapnya seng tebal. Makam ini tidak berdinding dan atapnya berbentuk segi empat melingkari makam. Makam ini letaknya tidaklah berapa jauh dari bekas istana Damnah.

Makam ini terkenal bukanlah karena bangunan makamnya, tetapi karena yang dimakamkan disini adalah Raja Muhammad Yusuf Yang Dipertuan Muda Riau X.


Rumah Datuk Laksemana Daik

Lokasi : Kecamatan Lingga
Kabupaten : Kepulauan Riau

Bangunan tua ini terletak di kampung Bugis, berbentuk limas penuh. Rumah ini selain pernah ditempati oleh Datuk Laksemana Daik,pernah pula ditempati oleh Datuk Kaya pulau Mepar, karena beliau ini menantu Datuk Laksemana. Rumah ini masih agak baik dan ditempati oleh keluarga Datuk Laksemana dan Datuk Kaya Daik.

Di rumah ini masih tersimpan sisa-sisa benda milik Datuk Laksemana dan Datuk Kaya, seperti : beberapa jenis pakatan kebesaran Datuk Kaya dan Datuk Laksemana, benda-benda upacara adat, motifmotif tenunan, batik, ukiran-ukiran dan sebagainya.


Museum Kandil Kemilau Emas

Lokasi : Pulau Belimbing Kecamatan Bangkinang
Kabupaten : Kampar

Musium ini resminya baru pada tanggal 22 Mei 1988 berada di pulau Belimbing Kuok Bangkinang. Musium ini adalah sebuah rumah berbentuk rumah Adat Lima Koto Kampar yang dibangun sekitar tahun 1900 oleh almarhum Haji Hamid. Kini dalam musium ini tersimpan berbagai barang antik koleksi yang memiliki nilai sejarah seperti : Barang tembikar, Alat Pertukangan, Alat Pertanian, Alat-alat penangkap ikan, alat-alat kesenian, Alat-alat pelaminan, Alat-alat perdagangan, Alat pesta dan lain-lain.

Disamping alat-alat tersebut tersimpan pula dayung perahu dagang terbuat dari kayu yang sangat kuat berasal dari abad ke 18, serta sebuah kompas yang terbuat dari bambu yang dibuat oleh bangsa China karena angka-angka yang tertulis pada kompas tersebut ditulis dalam aksara China.

Ada dua ratus lima puluh (250) macam barang antik koleksi musium Kandil Kemilau Emas yang semuanya merupakan koleksi warisan yang telah turun temurun sebagai barang pusaka.


Makam Sultan Mahmus Syah 1

Lokasi : Kecamatan Bunut
Kabupaten : Kampar

Sultan Mahmud Syah I adalah Raja Malaka terakhir karena pertempuran dengan Potugis tahun 1509 hingga tahun 1526 beliau beserta sisa-sia pasukan gabungan mengundurkan diri ke Pekantua Sungai Kampar.

Setelah berperang Sultan Mahmud Syah dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar hingga mangkat tahun 1528 digelar dengan Marhum Kampar, dimakamkan di Pekantua Kampar. Makamnya terletak di Desa Tolam, kecamatan Bunut dan dapat dicapai dengan kenderaan kapal motor atau speedboad.

Mengunjungi makam sultan ini sekaligus dapat melihat beberapa peninggalan sejarah lainnya seperti meriam kuno, makam Raja-raja Pelalawan, bekas peninggalan sejarah di Nasi-nasi Tolam dan sebagainya.


Makam Syekh Burhanuddin
Lokasi : Kecamatan Kampar Kiri
Kabupaten : Daerah Tingkat II Kampar

Almarhum Syekh Burhanuddin adalah salah seorang penyebar Agama Islam, makamnya terletak di Kuntu Lipat Kain Kabupaten Kampar. Tempat ini banyak mendapat kunjungan terutama pada hari besar Islam dan menjelang bulan Ramadhan tiba.


Candi Muara Takus

Lokasi : Kecamatan XIII Koto
Kabupaten : Kampar

Kompleks candi ini terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar atau jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir sungai Kampar Kanan.

Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter diluar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan candi Tua, candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari : batu pasir, batu sungai dan. batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi. Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.

Selain dari candi Tua, candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka, di dalam kompleks candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Diluar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.

Kompleks candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat budhistis ini merupakan bukti pernahnya agama Budha berkembang di kawasan ini beberapa abad yang silam. Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad kesebelas, ada yang mengatakan abad keempat, abad ketujuh, abad kesembilan dan sebagainya. Tapi jelas kompleks candi ini merupakan peninggalan sejarah masa silam.


Benteng Tujuh Lapis

Lokasi : Kecamatan Tambusai
Kabupaten : Kampar

Benteng Tujuh Lapis sebagai peninggalan sejarah masa lampau terdapat di Dalu Dalu, Kecamatan Tambusai. Benteng ini dibuat untuk pertahanan melawan penjajahan oleh masyarakat di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, dan khasnya Benteng Tujuh Lapis terbuat dari bambu.

Dengan nilai perjuangan yang melekat pada benteng ini, menjadikannya sebagai salah satu objek wisata budaya dan peninggalan sejarah perjuangan masyarakat Riau menentang penjajahan.


Bekas Tambang Emas Logas

Lokasi : Muara Lembu, Kecamatan Sengingi
Kabupaten : Indragiri Hulu

Logas dengan bekas rel kereta api dan lokomotif dengan keadaan rusak di hutan merupakan objek wisata yang telah mendapat kunjungan wisatawan mancanegara, terutama wisatawan dari Jepang dan Belanda dengan motivasi nostalgia. Disamping itu, Logas dikenal juga sebagai tempat kerja paksa dan pembuangan bagi tawanan-tawanan serdadu Jepang yang pernah menjajah Indonesia.

Tambang emas Logas pernah didirikan pada masa penjajahan Belanda, dan pada masa penjajahan Jepang perusahaan itu diambil alih oleh Jepang hingga Indonesia merdeka tahun 1945.


Mesjid Tua Pangean

Lokasi : Kecamatan Kuantan Hilir
Kabupaten : Indragiri Hulu

Di Pangean terdapat sebuah mesjid tua yang memiliki nilai arsitektur yang tinggi dan termasuk sebagai peninggalan sejarah masyarakat setempat. Kubah-kubah yang bertingkat dan bangunannya memiliki nilai yang penuh makna.


Komplek Makam Sultan Indragiri

Lokasi : Kecamatan Rengat
Kabupaten : Indragiri Hulu

Tempat yang merupakan kompleks makam keturunan sultan Indragiri ini terdapat di Kota Lama. Disamping itu, makam sultan Indragiri berada dalam kompleks Mesjid Raya Rengat dengan beberapa makam lainnya yang terawat dengan rapi dan baik.


Rumah Tinggi Kerajaan

Lokasi : Kecamatan Rengat
Kabupaten : Indragiri Hulu

Rumah Tinggi kerajaan ini merupakan salah satu peninggalan kerajaan Indragiri, terletak di Rengat, ibukota Kabupaten Indragiri Hulu. Memang saat ini keadaannya masih sederhana dan isinyapun yang merupakan koleksi peninggalan kerajaan belum terkumpul disana.


Batu Ujung

Lokasi : Kecamatan Kuantan Tengah
Kabupaten : Indragiri Hulu

Batu Ujung meropakan objek wlsata budaya sebagai peninggalan sejarah yang terdapat di Kecamatan Kuantan Tengah.


Makam Putri Tujuh

Lokasi : Kecamatan Keritang
Kabupaten : Indragiri Hilir

Makam Putri Tujuh terletak di Kecamatan Keritang. Putri Tujuh menurut cerita masyarakat adalah sebuah makam yang di dalamnya terkubur 7 (tujuh) orang putri yang ditanam hidup-hidup karena telah memfitnah anak raja Keritang.


Makam Keramat
Lokasi : Kecamatan Gaung Anak Serka
Kabupaten : Indragiri Hilir

Di Kecamatan Gaung Anak Serka terdapat makam-makam keramat yang banyak dikunjungi masyarakat untuk berziarah membayar nazar, terutama menjelang atau pada hari-hari besar Islam. Makam-makam keramat itu, seperti makam Syekh Ibrahim Teluk Sungkah yang meninggal tahun 1858, makam Panglima Hitam dan makam Nik Gawang.


Kolam Raja

Lokasi : Kecamatan Kateman
Kabupaten : Indragiri Hilir

Kolam Raja sebagai peninggalan sejarah seperti danau alam yang dimanfaatkan penduduk setempat untuk sumber air minum. Kolam ini layak untuk dikembangkan sebagai tempat rekreasi dan pemandian karena juga memiliki pemandangan yang indah sehingga membuat betah sambil bersantai.

Kolam Raja terletak kurang lebih 1 kilometer dari Guntung, Kecamatan Kateman, Kabupaten Daerah Tingkat II Indragiri Hilir

Sumber : http://riauprov.go.id
Daftar Pahlawan Nasional Indonesia Dari Setiap Provinsi

Daftar Pahlawan Nasional Indonesia Dari Setiap Provinsi

Gambar pahlawan Indonesia
Pahlawan Nasional adalah gelar penghargaan tingkat tertinggi di Indonesia. Gelar anumerta ini diberikan oleh Pemerintahan Indonesia atas tindakan yang dianggap heroik – didefinisikan sebagai "perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya." – atau "berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara.


Berikut ini Daftar Pahlawan Nasional Indonesia Dari 34 Provinsi di indonesia berdasarkan asal Provinsi atau pengusul masing-masing nama Pahlawan. (Ket: klik nama pahlawan untuk mengetahui Profil, Biodata, serta Biografi nya)
  1. Provinsi Aceh: Teungku Chik di Tiro, Cut Nyak Dhien, Iskandar Muda, Cut Nyak Meutia, Teuku Muhammad Hasan, Teuku Nyak Arif, Teuku Umar.
  2. Provinsi Bali: Ida Anak Agung Gde Agung, I Gusti Ketut Puja, I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Ngurah Made Agung, I Gusti Ketut Jelantik.
  3. Provinsi Banten: Syafruddin Prawiranegara, Tirtayasa.
  4. Provinsi Bengkulu: Fatmawati.
  5. Provinsi Daerah Istimewa yogyakarta (DIY): Abdul Rahman Saleh, Agustinus Adisucipto, Ahmad Dahlan, Diponegoro, Fakhruddin, Hamengkubuwono I, Hamengkubuwono IX, Ignatius Joseph Kasimo, Ki Bagus Hadikusumo, Ki Hajar Dewantara, Rajiman Wediodiningrat, Siti Walidah (Nyai-Ahmad-Dahlan), Sugiyono Mangunwiyoto, Sultan Agung, Suryopranoto, Wahidin Sudirohusodo.
  6. Provinsi DKI Jakarta: Ismail Marzuki, Mohammad Husni Thamrin, Pierre Tendean, Wage Rudolf Supratman.
  7. Provinsi Gorontalo, Nani Wartabone 
  8. Provinsi Jambi: Thaha Syaifuddin. 
  9. Provinsi Jawa Barat (JABAR): Abdul Halim Majalengka, Achmad Subarjo, Dewi Sartika, Eddy Martadinata, Gatot Mangkupraja, Iwa Kusumasumantri, Juanda Kartawijaya, Kusumah Atmaja, Maskun Sumadireja, Noer Alie, Oto Iskandar di Nata, Zainal Mustafa.
  10. Provinsi Jawa Tengah (JATENG): Nyi Ageng Serang, Ahmad Rifa'i, Ahmad Yani, Alimin, Cipto Mangunkusumo, Gatot Subroto, Usman Janatin, Jatikusumo, Kartini, Katamso Darmokusumo, Ki Sarmidi Mangunsarkoro, Mangkunegara I, Muhammad Mangundiprojo, Muwardi, Pakubuwono VI. Pakubuwono X, Saharjo, Samanhudi, Siswondo Parman, Siti Hartinah, Slamet Riyadi, Sudirman, Albertus Sugiyapranata, Suharso, Sukarjo Wiryopranoto, Supeno, R Suprapto, Sutoyo Siswomiharjo, Tirto Adhi Suryo, Urip Sumoharjo, Yos Sudarso.
  11. Provinsi Jawa Timur (JATIM): Abdul Wahab Hasbullah, As'ad Syamsul Arifin, Basuki Rahmat, Cokroaminoto, Ernest  Dekker, Halim Perdanakusuma, Harun Bin Said, Hasyim Asy'ari, Iswahyudi, Mas Isman, Mas Mansur, Mas Tirtodarmo Haryono, Mustopo, Sukarni, Sukarno, Supriyadi, Suroso, Suryo, Soetomo, Sutomo, Untung Surapati, Wahid Hasyim. 
  12. Provinsi Kalimantan Barat (KALBAR): Abdul Kadir
  13. Provinsi Kalimantan Selatan (KALSEL): Antasari, Hasan Basri, Idham Chalid.
  14. Provinsi Kalimantan Tengah (KALTENG): Cilik Riwut.
  15. Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim): -
  16. Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara): -
  17. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung: -
  18. Provinsi Kepulauan Riau: Raja Ali Haji.
  19. Provinsi Lampung: Radin Inten II.
  20. Provinsi Maluku: Johannes Leimena, Karel Satsuit Tubun, Martha Christina Tiahahu, Pattimura.
  21. Provinsi Maluku Utara: Nuku Muhammad Amiruddin.
  22. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) - 
  23. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT): Herman Johannes, Izaak Huru Doko, Wilhelmus Zakaria Johannes. 
  24. Provinsi Papua: Frans Kaisiepo, Johannes Abraham Dimara, Marthen Indey, Silas Papare.
  25. Provinsi Papua Barat.
  26. Provinsi Riau: Raja Haji Fisabilillah, Syarif Kasim II, Tuanku Tambusai.
  27. Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar).
  28. Provinsi Sulawesi Selatan (SULSEL): Andi Abdullah Bau Massepe, Hasanuddin, Andi Jemma, La Maddukelleng, Andi Mappanyukki, Opu Daeng Risaju, Pajonga Daeng Ngalie, Pong Tiku, Ranggong Daeng Romo, Robert Wolter Monginsidi, Andi Sultan Daeng Radja, Yusuf Tajul Khalwati.
  29. Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).
  30. Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra): John Lie, Lambertus Nicodemus Palar, Bernard Wilhelm Lapian, Arie Frederik Lasut, Sam Ratulangi, Maria Walanda Maramis.
  31. Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).
  32. Provinsi Sumatera Barat (Sumbar): Mohammad Natsir, Abdul Halim, Abdul Malik Karim Amrullah, Mohammad Hatta, Hazairin, Adnan Kapau Gani, Sutan Syahrir, Rasuna Said, Muhammad Yamin, Abdul Muis, Ilyas Yakoub, Agus Salim, Tan Malaka, Bagindo Azizchan, Tuanku Imam Bonjol.
  33. Provinsi Sumatera Selatan (SUMSEL): Mahmud Badaruddin II.
  34. Provinsi Sumatera Utara (SUMUT). Abdul Haris Nasution, Adam Malik, Amir Hamzah, Donald Izacus Panjaitan, Ferdinand Lumbantobing, Jamin Ginting, Kiras Bangun, Sisingamangaraja XII, Tahi Bonar Simatupang, Zainul Arifin.