Hello Guys, Welcome Back in yaudahkasideh blog. Hasyiap, kali ini kita ngomongin tentang Contoh Peninggalan Sejarah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) and tanpa berlama lama, Yaudahkasideh!!!
Kepulauan Riau merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari provinsi Riau. Provinsi Kepulauan Riau terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 merupakan provinsi ke-32 di Indonesia yang mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Lingga.
Masa sejarah di Kepulauan Riau dimulai dengan ditemukannya Prasasti Pasir Panjang di Karimun yang terdapat semboyan pemujaan melalui tapak kaki Buddha. Hal ini diduga berhubungan dengan Kerajaan Melayu di Sumatera. Buddha diperkiran masuk melalui pedagang dari Tiongkok dan India.
Masa Islam di Kepulauan Riau berkembang dengan berdirinya Kesultanan Riau-Lingga. Kesultanan ini berasaskan Melayu Islam dan Islam sendiri dikenal setelah dibawa oleh pedagang dari Gujarat, India, dan Arab.
Masa Kolonial sangat berpengaruh dalam sejarah Kepulauan Riau. Julukan Hawaii Van Lingga yang diberikan kepada pulau Penuba, penggunaan uang tersendiri bagi Kepulauan Riau, dan terbentuknya Karesidenan Riouw menjadi bukti pengaruh kuat para kolonial di Kepulauan Riau.
Setelah masa kemerdekaan, Kepulauan Riau bergabung dengan wilayah Kesultanan Siak di daratan Sumatera sehingga membentuk provinsi Riau. Dahulunya, Kepulauan Riau juga menggunakan mata uang tersendiri bernama Uang Kepulauan Riau (KR). Namun secara perlahan, penggunaan mata uang ini dihentikan dan digantikan dengan mata uang Rupiah.
Setelah lama bergabung dengan Riau, Kepulauan Riau akhirnya memutuskan untuk memisahkan diri dengan membentuk Badan Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR). Perjuangan BP3KR akhirnya membuahkan hasil dengan pemekaran provinsi Kepulauan Riau dari Riau pada tanggal 24 September 2002.
Peninggalan Sejarah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri)
Gurindam Dua Belas
Gurindam Dua Belas (Jawi: ڬوريندام دوا بلس) merupakan gurindam, salah satu puisi Melayu lama, hasil karya Raja Ali Haji seorang sastrawan dan Pahlawan Nasional dari Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau. Gurindam ini ditulis dan diselesaikan di Pulau Penyengat pada tanggal 23 Rajab 1264 Hijriyah atau 1847 Masehi pada saat Raja Ali Haji berusia 38 tahun.
Karya ini terdiri dari 12 Fasal dan dikategorikan sebagai Syi'r al-Irsyadi atau puisi didaktik, karena berisikan nasihat dan petunjuk menuju hidup yang diridai oleh Allah swt. Selain itu terdapat pula pelajaran dasar Ilmu Tasawuf tentang mengenal "yang empat", yaitu syari'at, tarekat, hakikat, dan makrifat. Diterbitkan pada tahun 1854 dalam Tijdschrft van het Bataviaasch Genootschap No. II, Batavia, dengan huruf Arab dan diterjemahkan dalam Bahasa Belanda oleh Elisa Netscher.
Masjid Raya Sultan Riau (Mesjid Penyengat)
Masjid ini mulai dibangun sekitar tahun 1761-1812 oleh Sultan Mahmud. Pada awalnya, masjid ini hanya berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi lebih kurang 6 meter. Namun, seiring berjalannya waktu, masjid ini tidak lagi mampu menampung jumlah anggota jemaah yang terus bertambah sehingga Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan Kerajaan Riau-Linggga pada 1831-1844 berinisiatif untuk memperbaiki dan memperbesar masjid tersebut.
Masjid ini awalnya dibangun oleh Sultan Mahmud pada tahun 1803. Kemudian pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman, tahun 1832 masjid ini direnovasi dalam bentuk yang terlihat saat ini. Bangunan utama masjid ini berukuran 18 x 20 meter yang ditopang oleh 4 buah tiang beton. Di keempat sudut bangunan, terdapat menara tempat Bilal mengumandangkan adzan. Pada bangunan Masjid Sultan Riau terdpat 13 kubah yang berbentuk seperti bawang. Jumlah keseluruhan menara dan kubah di Masjid Sultan Riau sebanyak 17 buah yang melambangkan jumlah rakaat salat wajib lima waktu sehari semalam.
Meriam Tegak
Meriam Tegak merupakan salah satu cagar budaya yang ramai dikunjungi orang karena keunikannya. Meriam ini dapat dijumpai di Kecamatan Singkep, wilayah Pulau Singkep di Kepri. Meriam ini merupakan warisan sejarah masa lampau yang terletak di kota Dabo Singkep, menyimpan misteri yang belum bisa di tolerir akal sehat manusia, karena dari dulu sampai sekarang meriam tegak ini tidak pernah bisa dicabut oleh manusia (pemerintah daerah juga) walau telah mengerahkan alat berat sekali pun tapi dia tidak bisa tercabut .
Bekas Istana Damnah
Istana Damnah didirikan oleh Raja Muhammad Yusuf AI-Ahmadi, Yang Dipertuan Muda Riau X (1857-1899 M). Ia mendirikan istana Damnah pada tahun 1860 M untuk kediaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II.
Yang tersisa dari bangunan yang dahulunya sangat megah ini hanyalah tangga muka, tiang-tiang dari sebahagian tembok pagarnya yang seluruhnya terbuat dari beton. Sekarang puing istana ini terletak dalam hutan belantara yang disebut kampung Damnah.
Kerajaan Riau Lingga
Kesultanan Lingga merupakan Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Lingga, Kepulauan Riau, Indonesia. Berdasarkan Tuhfat al-Nafis, Sultan Lingga merupakan pewaris dari Sultan Johor, dengan wilayah mencakup Kepulauan Riau dan Johor.
Kerajaan ini diakui keberadaannya oleh Inggris dan Belanda setelah mereka menyepakati Perjanjian London tahun 1824, yang kemudian membagi bekas wilayah Kesultanan Johor setelah sebelumnya wilayah tersebut dilepas oleh Siak Sri Inderapura kepada Inggris tahun 1818, namun kemudian diklaim oleh Belanda sebagai wilayah kolonialisasinya.
Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah merupakan sultan pertama kerajaan ini. Kemudian pada tahun 3 Februari 1911, kesultanan ini dihapus oleh pemerintah Hindia Belanda.
Kesultanan ini memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai bahasa Indonesia. Pada masa kesultanan ini bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia, yang kaya dengan susastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Bugis.
Kota Kerajaan Lingga berpusat di Daik, yang saat ini merupakan ibukota Kecamatan Lingga, termasuk dalam wilayah Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Secara astronomis Kelurahan Daik-Lingga terletak antara 00 13’ – 00 14’ LS dan 1040 36’ – 1040 41 BT (Rencana Kota Daik, 1991). Sampai saat ini tinggalan arkeologis di bekas Kerajaan Lingga cukup lengkap, diantaranya adalah beberapa bangunan monumental, seperti; mesjid, makam, bekas istana, benteng-benteng pertahanan, dan tinggalan artefaktual lainnya.
Benteng Tanah Bukit Cening
Benteng tanah ini berjarak sekitar 3 km sebelah selatan ibukota Kecamatan Lingga, tepatnya di Kampung Seranggo, Kelurahan Daik. Pada jarak satu kilometer terakhir menuju benteng, merupakan jalan setapak yang hanya dapat dicapai dengan jalan kaki. Benteng ini dibangun di atas bukit, menghadap ke tenggara, dengan pintu masuk berada di sebelah utara. Bagian selatan benteng ini adalah tebing yang menghadap ke Selat Kolombok, sebelah utara tampak Gunung Daik dan Sepincan, baratdaya tampak Pulau Mepar, sedangkan sebelah barat-barat laut merupakan daratan dan lokasi istana Sultan Lingga. Benteng ini merupakan bangunan tanah yang dibangun dengan meninggikan dan mengeraskan tanah, menyerupai tanggul, berdenah persegi empat, berukuran 32 m X 30 m, tebal sekitar 4 meter dengan ketinggian mencapai 1 – 1,5 m. Disebelah kiri, kanan dan depan benteng ini terdapat parit yang sebagian telah tertutup tanah. Melalui benteng ini pandangan bebas mengawasi daerah sekelilingnya.
Di dalam benteng ini terdapat sebanyak 19 buah meriam yang diletakkan berjajar di sisi selatan. Meriam-meriam di benteng ini dapat diklasifikasikan sebagai meriam berukuran sedang dan besar, dengan ukuran panjang antara 2 – 2,80 meter. Lubang laras berdiameter 8 – 12 cm. Pada meriam-meriam tersebut terdapat pertulisan yang terletak di bagian pangkal atau pada pengaitnya, sebagian dalam keadaan aus. Angka-angka tahun yang terdapat pada meriam itu adalah 1783 dan 1797, sedangkan tanda-tanda lain meliputi huruf P. HB. X. O. F. dan VOC.
Benteng Tanah Kuala Daik
Terletak di tepi muara Sungai Daik, sekitar 2 km dari Kampung Cina. Untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh dengan menggunakan sampan. Masyarakat menyebut tempat ini sebagai Tanjung Meriam, karena menurut informasi, di tempat tersebut dulu banyak ditemukan meriam. Sisa bangunan yang ada saat ini hanyalah susunan batu yang menjorok ke laut. Keletakan benteng ini sangat strategis, yaitu berada di pintu masuk ke pusat kota yang dapat dilalui dengan menggunakan kapal. Kerusakan benteng tersebut kemungkinan akibat gerusan air laut yang semakin tinggi pada saat pasang, akibat pengendapan Lumpur pada muara Sungai Daik.
Benteng Tanah di Pabean
Benteng tanah ini terletak di pusat Kota Kecamatan Lingga, di sebelah utara Kantor Kecamatan Lingga dan tidak jauh dari arah aliran Sungai Daik. Kondisinya saat ini tidak beraturan, hampir rata dengan tanah akibat aktivitas penduduk disekitarnya. Lebar bangunan tanah saat ini mencapai 4 – 6 meter, dengan tinggi tidak lebih dari 1 meter. Berdasarkan sisa bangunan yang ada, benteng tersebut memanjang dari arah timur–barat. Bagian tengah benteng terputus, karena tepat pada bangunan ini digunakan sebagai pintu masuk ke halaman rumah penduduk. Menurut masyarakat, tempat ini merupakan Pabean pada masa lalu, tepatnya berada disekitar belokan aliran Sungai Daik. Pengamatan di lapangan menunjukkan di tempat tersebut permukaan tanahnya lebih rendah dan kondisinya berair. Di sekitarnya banyak ditemukan meriam yang saat ini diletakkan di alun-alun. Dua buah meriam yang terdapat di depan Mess Kecamatan memiliki keistimewaan, berbahan tembaga, berukuran panjang 3,35 m. Di bagian atas terdapat hiasan dan pertulisan / 8 / – O.
Benteng Tanah di Pulau Mepar
Secara administratif Pulau Mepar termasuk dalam wilayah Desa Mepar, Kecamatan Lingga, berjarak sekitar 1 km dari Tanjung Butun. Untuk mencapai pulau ini ditempuh dengan menggunakan sampan dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. Pulau tersebut saat ini dimanfaatkan masyarakat sebagai pemukiman dengan pusat aktivitasnya di sekitar dermaga. Di Pulau ini terdapat 5 buah bangunan tanah dan beberapa buah meriam yang saat ini terletak di sekitar perkampungan penduduk.
Tiga buah bangunan benteng terletak di selatan pulau, satu di sebelah barat, dan sisanya berada di utara.
Benteng I terletak di atas bukit, sebelah tenggara pulau. Benteng tersebut dibangun dari tanah yang dikeraskan, terlihat dari susunan tanah dan kerikil. Benteng tanah ini berukuran 25 m X 23 m, tebal dinding antara 2,5 – 3 meter dan tinggi antara 1 – 1,5 meter. Benteng ini dikelilingi oleh parit yang cukup dalam, di bagian pintu masuknya terdapat saluran yang kemungkinan digunakan untuk mengeluarkan air dari dalam benteng. Benteng I menghadap ke baratlaut, di sudut timurlaut dan utara terdapat kelebihan tanah (tonjolan) berukuran 2 – 3 meter, menyerupai bastion. Benteng terletak di tempat lebih tinggi, sehingga memudahkan pengawasan daerah sekitarnya. Melalui benteng I ini dapat diawasi Pulau Lingga yang berada di sebelah utaranya, dan Pulau Kolombok di sebelah selatan.
Benteng II dalam kondisi rusak, berdenah persegi empat, berjarak sekitar 5 meter dari garis pantai dan berada pada ketinggian 3 meter diatas permukaan laut. Benteng seluas sekitar 300 m2 ini, terletak di sebelah selatan pulau. Melalui benteng ini tampak Pulau Kolombok yang berada di sebelah selatannya.
Komplek Istana Kantor
Istana Kantor berukuran sekitar 110 m2 dan menempati areal sekitar satu hektar yang seluruhnya dikelilingi tembok. Bangunan dan puing yang masih ada memperlihatkan kemegahannya pada masa lalu.
Gedung ini sengaja didesain khusus agar tahan dari pengaruh cuaca lembab dan basah. Untuk itu, mulai dari pondasi sampai atap bangunan dibuat menggunakan beton dan ukuran dinding dibuat melebihi ketebalan bangunan biasa. Sehingga, bubuk mesiu yang tersimpan di dalam bangunan kualitasnya tetap terjaga. Pada sisi kanan dan kiri gedung dilengkapi dengan jendela kecil yang dipasang jeruji besi. Pada zaman dahulu, jendela tersebut berfungsi untuk memberi cahaya masuk ke dalam bangunan.
Istana Kantor[sunting | sunting sumber]
Istana Kantor adalah istana dari Yang Dipertuan Muda Riau VIII Raja Ali (1844-1857), atau juga yang disebut dengan Marhum Kantor. Selain digunakan sebagai kediaman, bangunan yang dibangun pada tahun 1844 ini juga difungsikan sebagai kantor oleh Raja Ali.
Istana Kantor berukuran sekitar 110 m2 dan menempati areal sekitar satu hektar yang seluruhnya dikelilingi tembok. Bangunan dan puing yang masih ada memperlihatkan kemegahannya pada masa lalu.
Benteng Pertahanan Bukit Kursi
Benteng Pertahanan Bukit Kursi dibangun pada masa pemerintahan Raja haji. Pada masa itu Raja Haji menjadikan pulau penyengat sebagai basis pertahanan. Benteng ini disebut sebagai benteng yang modern pada zamannya. Dari atas bukit ini kita dapat melihat pemandangan kota tanjungpinang yang indah.
Bekas benteng pertahanan bangsa melayu saat melawan belanda. Wujud bangunan bentengnya memang sudah tidak ada. Yang tersisa tinggal sejumlah meriam ukuran besar, parit pertahanan, dan sebuah bangunan yang dulu difungsikan sebagai gudang mesiu.
Balai Adat Pulau Penyengat
Balai Adat Pulau Penyengat adalah replika rumah adat Melayu yang pernah ada di Pulau Penyengat. Bangunan Balai Adat merupakan rumah panggung khas Melayu yang terbuat dari kayu. Balai Adat difungsikan untuk menyambut tamu atau mengadakan perjamuan bagi orang-orang penting.
Di dalam gedung, kita dapat melihat tata ruang dan beberapa benda perlengkapan adat resam Melayu, serta berbagai perlengkapan atraksi kesenian yang digunakan untuk menjamu tamu-tamu tertentu.
Di bagian bawah Balai Adat ini terdapat sumur air tawar yang konon sudah berabad lamanya dan sampai sekarang airnya masih mengalir dan dapat langsung diminum.
Kawasan Pecinaan Senggarang
Kawasan ini merupakan kawasan yang religius bagi umat Budha. Di kawasan ini terdapat beberapa kelenteng yang dinilai magis menurut kepercayaan umat Budha. Kelenteng Su Te Kong, merupakan kelenteng dewa api, Kelenteng Marko. Merupakan kelenteng dewa Laut, Kelenteng Tay ti kong, merupakan kelenteng dewa tanah Di kawasan senggarang juga terdapat patung-patung budha, patung-patung ini mempunyai daya tarik tersendiri.
Prasasti Pasir Panjang
Prasasti Pasir Panjang merupakan peninggalan bersejarah berupa batu tertulis. Tulisan yang terdapat pada batu ini terdiri dari tiga baris. Tulisan yang tertera merupakan aksara nagari dan berbahasa Sansekerta yang berbunyi “Mahayunika Galagantricacri”. Dari tulisan yang terdapat pada batu ini para ahli menyimpulkan bahwa tulisan itu mengandung arti “Pemujaan kepada Sang Budha melalui Tapak KakiNya”. Prasasti ini dipercaya berasal dari abad IX-X Masehi. Sementara itu ada juga yang berpendapat berasal dari abad ke XI dan XII.
Prasasti Pasir Panjang terletak di lereng bukit batu granit di wilayah Desa Pasir Panjang. Prasasti ini ramai dikunjungi oleh turis dalam dan luar negeri. Bahkan banyak para peneliti yang mempelajarinya. Di samping itu prasasti tersebut dianggap tempat keramat bagi umat Budha sehingga ramai orang Tionghoa yang datang berziarah guna keselamatan dan meminta berkah. Prasasti ini merupakan potensi wisata yang sudah dikembangkan dan dikelola oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Karimun.
Mushaf al-Quran
Terdapat dua buah al-Quran tulisan tangan yang tersimpan di dalam Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat. Salah satu yang diperlihatkan kepada pengunjung adalah hasil goresan tangan Abdurrahman Stambul, seorang penduduk Pulau Penyengat yang dikirim oleh Kerajaan Lingga ke Mesir untuk memperdalam ilmu Agama Islam, sekembalinya dari belajar dia menjadi guru dan terkenal dengan "khat" gaya Istambul. Al-Quran ini diselesaikan pada tahun 1867 sambil mengajar. Keistimewaan al-Quran Mushaf Abdurrahman Stambul ini adalah banyaknya penggunaan "Ya Busra" serta beberapa rumah huruf yang titiknya sengaja disamarkan sehingga membacanya cenderung berdasarkan interpretasi individu sesuai akal dan ilmunya.
Di sisi kiri dan kanan bagian depan masjid terpdat bangunan tambahan yang disebut dengan Rumah Sotoh (tempat pertemuan). Menurut sejarahnya, masjid ini dibangun dengan menggunakan campuran putih telur, kapur, pasir dan tanah liat.
Sumber:
Baca artikel lain tentang:
Sejarah
Masa sejarah di Kepulauan Riau dimulai dengan ditemukannya Prasasti Pasir Panjang di Karimun yang terdapat semboyan pemujaan melalui tapak kaki Buddha. Hal ini diduga berhubungan dengan Kerajaan Melayu di Sumatera. Buddha diperkiran masuk melalui pedagang dari Tiongkok dan India.
Masa Islam di Kepulauan Riau berkembang dengan berdirinya Kesultanan Riau-Lingga. Kesultanan ini berasaskan Melayu Islam dan Islam sendiri dikenal setelah dibawa oleh pedagang dari Gujarat, India, dan Arab.
Masa Kolonial sangat berpengaruh dalam sejarah Kepulauan Riau. Julukan Hawaii Van Lingga yang diberikan kepada pulau Penuba, penggunaan uang tersendiri bagi Kepulauan Riau, dan terbentuknya Karesidenan Riouw menjadi bukti pengaruh kuat para kolonial di Kepulauan Riau.
Setelah masa kemerdekaan, Kepulauan Riau bergabung dengan wilayah Kesultanan Siak di daratan Sumatera sehingga membentuk provinsi Riau. Dahulunya, Kepulauan Riau juga menggunakan mata uang tersendiri bernama Uang Kepulauan Riau (KR). Namun secara perlahan, penggunaan mata uang ini dihentikan dan digantikan dengan mata uang Rupiah.
Setelah lama bergabung dengan Riau, Kepulauan Riau akhirnya memutuskan untuk memisahkan diri dengan membentuk Badan Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR). Perjuangan BP3KR akhirnya membuahkan hasil dengan pemekaran provinsi Kepulauan Riau dari Riau pada tanggal 24 September 2002.
Peninggalan Sejarah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri)
Gurindam Dua Belas
Gurindam Dua Belas pasal pertama dan kedua, ditatahkan pada marmer di dinding makam Engku Puteri Hamidah. di Pulau Penyengat. Pulau Penyengat diberikan kepadanya sebagai mas kawin. |
Karya ini terdiri dari 12 Fasal dan dikategorikan sebagai Syi'r al-Irsyadi atau puisi didaktik, karena berisikan nasihat dan petunjuk menuju hidup yang diridai oleh Allah swt. Selain itu terdapat pula pelajaran dasar Ilmu Tasawuf tentang mengenal "yang empat", yaitu syari'at, tarekat, hakikat, dan makrifat. Diterbitkan pada tahun 1854 dalam Tijdschrft van het Bataviaasch Genootschap No. II, Batavia, dengan huruf Arab dan diterjemahkan dalam Bahasa Belanda oleh Elisa Netscher.
Masjid Raya Sultan Riau (Mesjid Penyengat)
Masjid Raya Sultan Riau (Mesjid Penyengat) |
Masjid ini awalnya dibangun oleh Sultan Mahmud pada tahun 1803. Kemudian pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman, tahun 1832 masjid ini direnovasi dalam bentuk yang terlihat saat ini. Bangunan utama masjid ini berukuran 18 x 20 meter yang ditopang oleh 4 buah tiang beton. Di keempat sudut bangunan, terdapat menara tempat Bilal mengumandangkan adzan. Pada bangunan Masjid Sultan Riau terdpat 13 kubah yang berbentuk seperti bawang. Jumlah keseluruhan menara dan kubah di Masjid Sultan Riau sebanyak 17 buah yang melambangkan jumlah rakaat salat wajib lima waktu sehari semalam.
Meriam Tegak
Meriam Tegak |
Bekas Istana Damnah
Istana Damnah |
Yang tersisa dari bangunan yang dahulunya sangat megah ini hanyalah tangga muka, tiang-tiang dari sebahagian tembok pagarnya yang seluruhnya terbuat dari beton. Sekarang puing istana ini terletak dalam hutan belantara yang disebut kampung Damnah.
Kerajaan Riau Lingga
Bendera Kerajaan Riau Lingga |
Kerajaan ini diakui keberadaannya oleh Inggris dan Belanda setelah mereka menyepakati Perjanjian London tahun 1824, yang kemudian membagi bekas wilayah Kesultanan Johor setelah sebelumnya wilayah tersebut dilepas oleh Siak Sri Inderapura kepada Inggris tahun 1818, namun kemudian diklaim oleh Belanda sebagai wilayah kolonialisasinya.
Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah merupakan sultan pertama kerajaan ini. Kemudian pada tahun 3 Februari 1911, kesultanan ini dihapus oleh pemerintah Hindia Belanda.
Kesultanan ini memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai bahasa Indonesia. Pada masa kesultanan ini bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia, yang kaya dengan susastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Bugis.
Kota Kerajaan Lingga berpusat di Daik, yang saat ini merupakan ibukota Kecamatan Lingga, termasuk dalam wilayah Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Secara astronomis Kelurahan Daik-Lingga terletak antara 00 13’ – 00 14’ LS dan 1040 36’ – 1040 41 BT (Rencana Kota Daik, 1991). Sampai saat ini tinggalan arkeologis di bekas Kerajaan Lingga cukup lengkap, diantaranya adalah beberapa bangunan monumental, seperti; mesjid, makam, bekas istana, benteng-benteng pertahanan, dan tinggalan artefaktual lainnya.
Benteng Tanah Bukit Cening
Benteng Tanah Bukit Lingga |
Di dalam benteng ini terdapat sebanyak 19 buah meriam yang diletakkan berjajar di sisi selatan. Meriam-meriam di benteng ini dapat diklasifikasikan sebagai meriam berukuran sedang dan besar, dengan ukuran panjang antara 2 – 2,80 meter. Lubang laras berdiameter 8 – 12 cm. Pada meriam-meriam tersebut terdapat pertulisan yang terletak di bagian pangkal atau pada pengaitnya, sebagian dalam keadaan aus. Angka-angka tahun yang terdapat pada meriam itu adalah 1783 dan 1797, sedangkan tanda-tanda lain meliputi huruf P. HB. X. O. F. dan VOC.
Benteng Tanah Kuala Daik
Terletak di tepi muara Sungai Daik, sekitar 2 km dari Kampung Cina. Untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh dengan menggunakan sampan. Masyarakat menyebut tempat ini sebagai Tanjung Meriam, karena menurut informasi, di tempat tersebut dulu banyak ditemukan meriam. Sisa bangunan yang ada saat ini hanyalah susunan batu yang menjorok ke laut. Keletakan benteng ini sangat strategis, yaitu berada di pintu masuk ke pusat kota yang dapat dilalui dengan menggunakan kapal. Kerusakan benteng tersebut kemungkinan akibat gerusan air laut yang semakin tinggi pada saat pasang, akibat pengendapan Lumpur pada muara Sungai Daik.
Benteng Tanah di Pabean
Benteng tanah ini terletak di pusat Kota Kecamatan Lingga, di sebelah utara Kantor Kecamatan Lingga dan tidak jauh dari arah aliran Sungai Daik. Kondisinya saat ini tidak beraturan, hampir rata dengan tanah akibat aktivitas penduduk disekitarnya. Lebar bangunan tanah saat ini mencapai 4 – 6 meter, dengan tinggi tidak lebih dari 1 meter. Berdasarkan sisa bangunan yang ada, benteng tersebut memanjang dari arah timur–barat. Bagian tengah benteng terputus, karena tepat pada bangunan ini digunakan sebagai pintu masuk ke halaman rumah penduduk. Menurut masyarakat, tempat ini merupakan Pabean pada masa lalu, tepatnya berada disekitar belokan aliran Sungai Daik. Pengamatan di lapangan menunjukkan di tempat tersebut permukaan tanahnya lebih rendah dan kondisinya berair. Di sekitarnya banyak ditemukan meriam yang saat ini diletakkan di alun-alun. Dua buah meriam yang terdapat di depan Mess Kecamatan memiliki keistimewaan, berbahan tembaga, berukuran panjang 3,35 m. Di bagian atas terdapat hiasan dan pertulisan / 8 / – O.
Benteng Tanah di Pulau Mepar
Secara administratif Pulau Mepar termasuk dalam wilayah Desa Mepar, Kecamatan Lingga, berjarak sekitar 1 km dari Tanjung Butun. Untuk mencapai pulau ini ditempuh dengan menggunakan sampan dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. Pulau tersebut saat ini dimanfaatkan masyarakat sebagai pemukiman dengan pusat aktivitasnya di sekitar dermaga. Di Pulau ini terdapat 5 buah bangunan tanah dan beberapa buah meriam yang saat ini terletak di sekitar perkampungan penduduk.
Tiga buah bangunan benteng terletak di selatan pulau, satu di sebelah barat, dan sisanya berada di utara.
Benteng I terletak di atas bukit, sebelah tenggara pulau. Benteng tersebut dibangun dari tanah yang dikeraskan, terlihat dari susunan tanah dan kerikil. Benteng tanah ini berukuran 25 m X 23 m, tebal dinding antara 2,5 – 3 meter dan tinggi antara 1 – 1,5 meter. Benteng ini dikelilingi oleh parit yang cukup dalam, di bagian pintu masuknya terdapat saluran yang kemungkinan digunakan untuk mengeluarkan air dari dalam benteng. Benteng I menghadap ke baratlaut, di sudut timurlaut dan utara terdapat kelebihan tanah (tonjolan) berukuran 2 – 3 meter, menyerupai bastion. Benteng terletak di tempat lebih tinggi, sehingga memudahkan pengawasan daerah sekitarnya. Melalui benteng I ini dapat diawasi Pulau Lingga yang berada di sebelah utaranya, dan Pulau Kolombok di sebelah selatan.
Benteng II dalam kondisi rusak, berdenah persegi empat, berjarak sekitar 5 meter dari garis pantai dan berada pada ketinggian 3 meter diatas permukaan laut. Benteng seluas sekitar 300 m2 ini, terletak di sebelah selatan pulau. Melalui benteng ini tampak Pulau Kolombok yang berada di sebelah selatannya.
Komplek Istana Kantor
Istana Kantor adalah istana dari Yang Dipertuan Muda Riau VIII Raja Ali (1844-1857), atau juga yang disebut dengan Marhum Kantor. Selain digunakan sebagai kediaman, bangunan yang dibangun pada tahun 1844 ini juga difungsikan sebagai kantor oleh Raja Ali.
Istana Kantor berukuran sekitar 110 m2 dan menempati areal sekitar satu hektar yang seluruhnya dikelilingi tembok. Bangunan dan puing yang masih ada memperlihatkan kemegahannya pada masa lalu.
Gedung ini sengaja didesain khusus agar tahan dari pengaruh cuaca lembab dan basah. Untuk itu, mulai dari pondasi sampai atap bangunan dibuat menggunakan beton dan ukuran dinding dibuat melebihi ketebalan bangunan biasa. Sehingga, bubuk mesiu yang tersimpan di dalam bangunan kualitasnya tetap terjaga. Pada sisi kanan dan kiri gedung dilengkapi dengan jendela kecil yang dipasang jeruji besi. Pada zaman dahulu, jendela tersebut berfungsi untuk memberi cahaya masuk ke dalam bangunan.
Istana Kantor[sunting | sunting sumber]
Istana Kantor adalah istana dari Yang Dipertuan Muda Riau VIII Raja Ali (1844-1857), atau juga yang disebut dengan Marhum Kantor. Selain digunakan sebagai kediaman, bangunan yang dibangun pada tahun 1844 ini juga difungsikan sebagai kantor oleh Raja Ali.
Istana Kantor berukuran sekitar 110 m2 dan menempati areal sekitar satu hektar yang seluruhnya dikelilingi tembok. Bangunan dan puing yang masih ada memperlihatkan kemegahannya pada masa lalu.
Benteng Pertahanan Bukit Kursi
Pulau Penyengat dijadikan sebagai benteng pertahanan kerajaan dari serangan Belanda pada tahun 1782. Bukit kursi ini merupakan salah satu bukti kekuatan kerajaan Riau-Lingga yang kala itu dipimpin Raja Haji Fisabilillah Yang Dipertuan Muda Riau IV.
Benteng Pertahanan Bukit Kursi dibangun pada masa pemerintahan Raja haji. Pada masa itu Raja Haji menjadikan pulau penyengat sebagai basis pertahanan. Benteng ini disebut sebagai benteng yang modern pada zamannya. Dari atas bukit ini kita dapat melihat pemandangan kota tanjungpinang yang indah.
Bekas benteng pertahanan bangsa melayu saat melawan belanda. Wujud bangunan bentengnya memang sudah tidak ada. Yang tersisa tinggal sejumlah meriam ukuran besar, parit pertahanan, dan sebuah bangunan yang dulu difungsikan sebagai gudang mesiu.
Balai Adat Pulau Penyengat
Bangunan bangsal besar yang dulunya oleh pemerintah setempat digunakan untuk acara acara kebudayaan. Dibangunan ini terdapat pelaminan Melayu sehingga pengunjung bisa berphoto di atas pelaminan tersebut. Dibawah Balai Adat terdapat sebuah sumur yang airnya bening dan rasanya tawar. Inilah bukti legenda yang dahulu orang mengenal pulau Penyengat sebagai Pulau Air tawar.
Balai Adat Pulau Penyengat adalah replika rumah adat Melayu yang pernah ada di Pulau Penyengat. Bangunan Balai Adat merupakan rumah panggung khas Melayu yang terbuat dari kayu. Balai Adat difungsikan untuk menyambut tamu atau mengadakan perjamuan bagi orang-orang penting.
Di dalam gedung, kita dapat melihat tata ruang dan beberapa benda perlengkapan adat resam Melayu, serta berbagai perlengkapan atraksi kesenian yang digunakan untuk menjamu tamu-tamu tertentu.
Di bagian bawah Balai Adat ini terdapat sumur air tawar yang konon sudah berabad lamanya dan sampai sekarang airnya masih mengalir dan dapat langsung diminum.
Kawasan Pecinaan Senggarang
Kawasan ini merupakan kawasan yang religius bagi umat Budha. Di kawasan ini terdapat beberapa kelenteng yang dinilai magis menurut kepercayaan umat Budha. Kelenteng Su Te Kong, merupakan kelenteng dewa api, Kelenteng Marko. Merupakan kelenteng dewa Laut, Kelenteng Tay ti kong, merupakan kelenteng dewa tanah Di kawasan senggarang juga terdapat patung-patung budha, patung-patung ini mempunyai daya tarik tersendiri.
Prasasti Pasir Panjang
Prasasti Pasir Panjang yang terletak di Desa Meral, Kabupaten Karimun Provinsi Kepualuan Riau; berada dikawasan PT Karimun Granit harus minta ijin lebih dulu pada petugas jaga.
Prasasti Pasir Panjang merupakan peninggalan bersejarah berupa batu tertulis. Tulisan yang terdapat pada batu ini terdiri dari tiga baris. Tulisan yang tertera merupakan aksara nagari dan berbahasa Sansekerta yang berbunyi “Mahayunika Galagantricacri”. Dari tulisan yang terdapat pada batu ini para ahli menyimpulkan bahwa tulisan itu mengandung arti “Pemujaan kepada Sang Budha melalui Tapak KakiNya”. Prasasti ini dipercaya berasal dari abad IX-X Masehi. Sementara itu ada juga yang berpendapat berasal dari abad ke XI dan XII.
Prasasti Pasir Panjang terletak di lereng bukit batu granit di wilayah Desa Pasir Panjang. Prasasti ini ramai dikunjungi oleh turis dalam dan luar negeri. Bahkan banyak para peneliti yang mempelajarinya. Di samping itu prasasti tersebut dianggap tempat keramat bagi umat Budha sehingga ramai orang Tionghoa yang datang berziarah guna keselamatan dan meminta berkah. Prasasti ini merupakan potensi wisata yang sudah dikembangkan dan dikelola oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Karimun.
Mushaf al-Quran
Terdapat dua buah al-Quran tulisan tangan yang tersimpan di dalam Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat. Salah satu yang diperlihatkan kepada pengunjung adalah hasil goresan tangan Abdurrahman Stambul, seorang penduduk Pulau Penyengat yang dikirim oleh Kerajaan Lingga ke Mesir untuk memperdalam ilmu Agama Islam, sekembalinya dari belajar dia menjadi guru dan terkenal dengan "khat" gaya Istambul. Al-Quran ini diselesaikan pada tahun 1867 sambil mengajar. Keistimewaan al-Quran Mushaf Abdurrahman Stambul ini adalah banyaknya penggunaan "Ya Busra" serta beberapa rumah huruf yang titiknya sengaja disamarkan sehingga membacanya cenderung berdasarkan interpretasi individu sesuai akal dan ilmunya.
Di sisi kiri dan kanan bagian depan masjid terpdat bangunan tambahan yang disebut dengan Rumah Sotoh (tempat pertemuan). Menurut sejarahnya, masjid ini dibangun dengan menggunakan campuran putih telur, kapur, pasir dan tanah liat.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar